Jumat, 21 Juli 2017

Pendakian Gn.Merapi 2930 mdpl


Plang Merapi 2930 mdpl

Gunung Merapi termasuk gunung berapi yang masih aktif di Pulau Jawa. Gunung ini terakhir meletus pada tahun 2010 yang juga menewaskan sang Juru Kunci, Mbah Maridjan. Sebelum letusan tahun 2010, Merapi terkenal dengan Puncak Garuda. Akibat letusan itu puncak Garuda telah hilang. Yang tersisa sekarang adalah sebuah batu yang menjulang tinggi dan seorang pendaki asal Jogja (Alm. Eri Yunanto) tahun 2015 terpeleset dan jatuh ke kawah dari lokasi yang dinamakan Puncak tusuk gigi tersebut.
Aku bergabung dalam pendakian Merapi yang diprakarsai oleh Bang Ponco and the geng. Kebetulan juga dalam rombongan bang Ponco terdapat dua kawan yang pernah mendaki Semeru bersamaku yaitu Irma dan Arum. Anggota dalam pendakian Merapi ini yaitu Bang Ponco, Bang Bibir, Bang Kampleng, Ike, Bang Metthew, Arum, Irma, adiknya Irma dan aku. Mereka bersembilan pada hari Sabtu pagi telah mendaki Andong tanpa ngecamp alias tektok.


Sabtu-Ahad, 15-16 April 2017

Aku sudah mengabari bang Ponco bahwa aku akan menunggu di pertigaan Keteb. Bang Ponco, dkk berangkat menuju Keteb dari BC Andong, sedangkan aku berangkat dari rumah di Nanggulan naik motor. Aku bersama adek otw sehabis sholat Ashar. Ternyata mereka yang duluan sampai di Keteb dan harus menungguku. Aku terjebak macet saat hampir sampai di Pertigaan Keteb. Aku bertemu dengan rekan-rekan di pertigaan Keteb yaitu jam 17.10 WIB. Mobil yang disewa rombongan Tangerang+Sukabumi sudah berisikan 9 orang plus driver. Awalnya agak gak enak juga mau ikut mobil mereka, karena nanti di mobil semakin berdesakan oleh manusia. Tapi agar efektif akhirnya aku masuk dan ikut mobil sampai di basecamp. Jam 17.30 WIB setelah packing ulang tas keril di mobil, akhirnya kami berangkat menuju BC Barameru.

Mepo di pertigaan Keteb

Hari sudah malam saat kami mampir membeli logistik di sebuah toko dekat BC. Jam 19.00 WIB kami tiba di BC Barameru dan salah satu rekan mendatangi pos registrasi dan mengurus simaksi pendakian kami. Simaksi saat weekend sebesar Rp 18.500,- untuk pendakian 2 hari 1 malam per orang. Basecamp Barameru terletak di Selo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Dari BC kami harus berjalan kaki melewati aspal yang menanjak untuk sampai di NEWSELO. Di sana terdapat beberapa mobil yang parkir untuk mengantar pendaki yang naik Merapi. Warung-warung berjajar menghadap ke arah Merbabu, yang jika cuaca cerah maka akan tampak pemandangan yang indah gunung Merbabu. Sebelum mendaki kami makan malam di salah satu warung. Kami juga menitipkan baju bersih yang tidak terpakai saat di Merapi kepada ibu pemilik warung tsb. Perut telah diisi dan kami siap untuk start ngetrek. Kami mulai berjalan meninggalkan warung jam 20.00 WIB.
Jalan paving(cor-semen) mengawali perjalanan malam kami. Etape dari Newselo ke gerbang pendakian Merapi didominasi ladang penduduk di sebelah kanan dengan track yang cukup menanjak sebagai starting point. Aku yang menjadikan pendakian kali ini sebagai ajang pemanasan sebelum berangkat ke Rinjani, telah berkeyakinan dalam hati bahwa tidak akan jalan santai seperti keong. Saat menjumpai jalan setapak yang mulai bertambah kemiringannya dibanding jalan paving ternyata nafasku sudah tersengal-sengal. Jalanku mulai melambat hingga sampai di Gerbang Pendakian. Kami semua break agak lama di sana. Hawa kantuk mulai menyerang. Tubuhpun mulai kedinginan karena terlalu lama berdiam diri. Akhirnya salah satu rekan berkata “Yuk, lanjut lagi, udah dingin.”
Kami segera berjalan kembali menuju pos 1. Trek tetap menanjak tanpa bonus. Aku yang merasa sudah lemas, segera memakan coki-coki yang telah kusiapkan di kantong kerilku. Perjalanan di malam hari membuat paru-paru bekerja lebih ekstra karena oksigen yang kita hirup lebih sedikit. Walau begitu, perjalanan malam membuat kita fokus untuk sampai tujuan karena sekitar kita gelap dan jarang bisa mengeksplorasi pemandangan  alam. Baterai handphone menjadi awet.
Di perjalanan menuju pos 1, kami bertemu percabangan jalur dan kami dengan santainya ambil jalur sebelah kanan. Jam 22.30 WIB kami sampai di pos 1 dan istirahat di shelter sembari menunggu teman yang masih di belakang kami. Malam itu banyak pendaki yang naik Merapi. Tak dapat dipungkiri bahwa mendaki saat longweekend pasti akan menjumpai antrian di trek. Saat melihat ada pendaki yang muncul dari arah bawah-samping batu besar yang dekat dengan pos 1 barulah kusadari sesuatu. Dulu, saat mendaki Merapi pertama kali di tahun 2013 aku melewati jalur yang sama dengan pendaki tersebut. Jalur ke arah kanan akan membawa kita menuju pos 1 dalam waktu yang relatif singkat tetapi medan yang lebih terjal dan cukup menyiksa. Sedangkan jalur ke arah kiri juga didominasi tanjakan terjal dengan beberapa titik berupa tanah landai yang agak memutar. Tahun 2013 aku dan rombongan mengambil jalur kiri sedangkan saat aku bersama bang Ponco and the geng, kami memilih jalur sebelah kanan. Beberapa saat kemudian rekan kami sudah sampai.
Gue udah gak kuat kalo harus lanjut ke pos 2. Kita ngecamp sini aja “ ujar salah satu rekan
Berdasarkan mufakat, maka kami sepakat ngecamp di Pos 1 karena ada teman yang kelelahan akibat paginya tektok Andong. Di area pos 1 terdapat lapak yang bisa menampung 2 buah tenda. Karena kondisi rekan sudah letih dan ngantuk kami hanya mendirikan 1 buah tenda saja. Jam 23.30 WIB kami segera beristirahat. Yang tidur di dalam tenda adalah 4 orang cewek dan 1 cowok. Sedangkan 3 cowok lainnya tidur di teras tenda dan di luar tenda.
Ada SB gak?” tanya bang Ponco yang akan tidur di luar.
“Bang Ponco gak ada SB?”
Gak ada, mbak. Punya saya dipakai Ike.”
Yaudah, nih pakai aja. Ntar aku barengan sama Arum” kataku. Malam itu Ike terbangun karena mengeluh ngilu. Segera kami berikan minyak kayu putih padanya. Arum dan Bang Mett dengan cepat merespon keluhan Ike dan merawatnya.
Subuh kami bangun, sholat dan mulai memasak air panas. Tiga orang cewek keluar tenda dan membangunkan rekan yang tidur di luar dan segera menyuruh mereka masuk ke tenda.
Bang....masuk tenda gih..!Gantian... Kami mau masak,” kataku.
Aku, Arum, dan Irma bagi tugas untuk memasak. Aku memasak nasi, Irma meracik untuk sayur sop dan Arum meracik untuk tempe tepung-goreng.
Tak berapa lama bang Metthew muncul dan membantu kami memasak. Membantu dan bikin rusuh itu beda tipis.hahaha.

Gunung Sumbing, Sindoro tampak dari pos 1

Pos 1, lapak tenda kami


Sarapan telah siap. Kami membangunkan Ike, Bang Ponco, Bang Kampleng dan bang Bibir. Ike segera kami suguhi minuman hangat.
Minum dulu, Ike, biar badannya enak.”
Setelah selesai sarapan, kami packing untuk summit attack. Bang Mett yang sebelumnya sudah pernah muncak ke Merapi memutuskan tidak ikut bersama kami.
Gue gak ikut ya. Udah pernah sih. Gue jaga tenda aja.”
Yakin bang Mett, gak ikut? Kalo gitu ntar kita turun summit udah ada makan siang dong ya...” balas kami.
Iya deh, diusahakan, kalo bisa gue masakin, kalo gak ya udah, gue gak masak.” jawabnya pasrah.
Jam 8 pagi kami mulai start summit attack. Untuk mencapai puncak tentu dibutuhkan waktu yang lebih lama karena titik awal kami adalah pos 1. Aku sampai di Pasar Bubrah jam 10.30 WIB
Dari sekian etape menuju puncak Merapi, pos 1 ke pos 2 merupakan salah satu etape yang berat. Medan yang harus kami lalui berupa trek terjal bebatuan. Sepanjang jalur menuju pos 2 kaki dipaksa melangkah melewati batu cadas. Pemandangan Merbabu nan gagah di sebelah kanan membuat Aku, Arum dan Irma sering berhenti untuk mengabadikan moment. Saat mereka sibuk berfoto aku lantas mengatur nafasku yang sudah engap. Pagi yang cerah dengan pundak yang santai tanpa beban membuat kami berjalan dengan cepat. Saat bebatuan mulai habis itu berarti Pos 2 semakin dekat. Pos 2 merupakan salah satu spot mendirikan tenda. Tanah lumayan datar dan luas, serta masih terdapat vegetasi untuk berlindung dari terpaan angin.

View Merbabu dari atas pos 1


Medan Menuju Pos 2



Bebatuan semua


Menjelang pos 2 tampak puncak Merapi sangat dekat


Sampai di pos 2 kami beristirahat sambil menunggu rekan yang masih di belakang. Duduk menikmati semilir angin sembari ngobrol dengan 2 orang pendaki asal Bekasi membuat kami tertawa terbahak-bahak. Mereka membuat teh untuk diminum bersama-sama. Satu gelas telah siap dan ditawarkan kepada kami semua.
Ayo, bang,,, mbak,,, silakan diminum tehnya.”
Irma, Arum, Bang Bibir secara bergantian meminum teh tersebut.
Mbak uut, nih...” kata Irma menyodorkan gelas itu padaku
Enggak deh, Mut...” kataku. Entah kenapa saat itu aku tidak mau minum teh tersebut. Padahal Aku termasuk penyuka minum teh di ketinggian. Wkwkwkwk.
Gelas itu pun segera kembali ke tangan empunya. Lantas dia minum dan berkomentar.
Kog rasanya ada yang kurang ya?” pikirnya
Kami semua terkejut dan penasaran. “Emang kenapa Bang? Enak kog.”
Tiba-tiba pendaki asal Bekasi yang satu lagi nyeletuk,  “Duh,,,gue lupa. Tadi tehnya belum di kasi gula.”
Temannya terkejut dan berkata, “Wah,,lu gimana sih...Tanggungjawab!”
“Yaudah sih,,,bikinin yang baru,,,pake gula tapi jangan lupa.”
Sontak kami semua tergelak menyadari bahwa walaupun teh tanpa gula, tetapi tetap terasa nikmat.
Kalian gak nyadar apa, itu gak manis?” tanyaku
Enggak mbak,,,enak sih. Apa karena lagi haus ya,,sampe gak nyadar gitu.” jawab mereka.
Teh yang benar pun kemudian Aku yang pertama mencicipi. “Ini baru teh manis. Ha....”
Setelah berbincang cukup lama dan tidak nyaman melihat sebelahku duduk memasak mie instant, aku bertanya pada Bang Bibir, “Gimana kalo kita nunggu mereka sambil jalan lagi?
“Mau jalan nih? Hayuk lah...” jawabnya.
Bang duluan ya,,” Kami pun berpamitan dengan pendaki asal pendaki dan juga pendaki yang sedang memasak mie.
 Sampai di watu gajah kami berhenti sejenak untuk beristirahat. Di area watu gajah banyak monyet berkeliaran. Beberapa terlihat mendekati tenda untuk mencari sisa makanan dari pendaki. Ada juga monyet yang sedang bergelantungan di pohon.
“Bang Ponco, Ike, Bang Kampleng belum kelihatan nih... mau lanjut?”
“Lanjut aja, kita tunggu di Pasar Bubrah”
Kami pun segera menuju titik terakhir sebelum puncak Merapi. Meninggalkan Watu gajah kami merasakan hawa panas kian menyengat. Jam 10 pagi kala itu dan matahari tengah membagikan sinarnya pada penduduk bumi. Pasar Bubrah cukup ramai. Pasar bubrah di Merapi ibarat alun-alun karena area tersebut berupa tanah datar tanpa vegetasi yang dipenuhi oleh bongkahan batu-batu material vulkanik berbagai ukuran. Ada yang jumbo, ukuran sedang dan ukuran kecil layaknya kerikil. Beberapa tenda tampak dibangun dekat dengan batu yang sangat besar di area itu. Kami semua duduk beristirahat dan menikmati suasana Pasar Bubrah. Banyak pendaki yang berfoto bersama di papan penanda yang bertuliskan “Pasar Bubrah”. Tak terkecuali kami semua. Selesai berfoto ria di sana, akhirnya sampai juga Ike, Bang Ponco dan Bang Kampleng di Pasar Bubrah. Walaupun panas kian menyengat kami tetap semangat untuk antri foto bersama fullteam (tanpa bang Mett). Kabut yang datang menutup Puncak Merapi kala itu membuat kami sempat was-was. Setelah yakin di puncak akan cerah maka kami semua memantapkan hati untuk menggapai Puncak Merapi.

Fokusnya berantakan

Pasar Bubrah (fullteam)

Bareng gadis Sukabumi

Belakang kami udah Puncak Merapi



Jam 11.30 WIB kami semua berjalan beriringan menuju Puncak Merapi. Sampai di papan peringatan “STOP!! Berhenti di Sini. Batas Aman Pendakian” aku berhenti sejenak dan berdoa agar kami serombongan selamat sampai turun kembali ke BC. Sebenarnya pihak pengelola sudah memberikan rambu-rambu yang seharusnya dipatuhi oleh para pendaki bahwa pendakian Merapi hanya sampai di Pasar Bubrah. Tapi apalah daya, karena pengaruh ego yang kuat dari kami, peringatan tersebut seolah tidak terlihat. “Udah jauh-jauh sampai sini, masak gak muncak?Yang penting tetap keep safety dan cuaca mendukung” begitulah salah satu kalimat pembenaran dari kami.
Jalur melipir ke kiri dulu baru naik

Puncak tertutup kabut

Medan pasir saat melipir

Tampak Pasar Bubrah jika difoto dari atas


Mulai dari titik ini terlihat jejak kaki para pendaki yang berjalan melipir ke arah kiri naik lalu belok kanan dan mulai lurus naik untuk mencapai bibir kawah Merapi. Berjalan pada medan berpasir yang penuh kerikil cukup menyulitkanku. Trek pasir halus itu menyebabkan langkah kakiku terasa berat. Beberapa kali tubuhku oleng karena tangan tak mempunyai pegangan. Perlahan tapi pasti akhirnya kami bisa melalui trek pasir dan selanjutnya telah membentang bebatuan yang cukup rapuh yang bisa menggelinding kalau kita salah ambil pijakan.

Mendekati puncak Merapi

Setapak demi setapak dengan sangat berhati-hati aku memilih batu tempat berpijak. Sambil terus berdoa, aku ajak tanganku bekerja sama untuk menopang keseimbangan tubuh saat di track. Arum terlihat sangat gesit mengejar Puncak Merapi. Aku sesekali menengok ke belakang dan terlihat beberapa pendaki yang tengah berjuang sepertiku. Jalur bebatuan yang aku pilih ternyata terlalu ke kiri dan tak kusadari hal itu sangat berbahaya. Aku hanya mengikuti 2 orang pendaki yang berada di jalur tersebut. Saat mendekati puncak kulihat dua pendaki itu merayap di tanah. Aku mengumpat dalam hati saat aku merasakan jalur itu langsung. “Arrghhh...susah sekali ini” kataku. Saat itu aku melihat Arum sudah melambai-lambai ke arahku.
Mbak ut,  jangan lewat situ. Berbahaya. Lewat situ aja,” katanya sambil menunjuk ke arah sisi kananku yang notabene cukup jauh.
Susah, Arum,,,gimana ini?” ujarku panik. Padahal bibir kawah tinggal 8 meter dari posisiku saat itu. Aku masih berusaha merayap saat kakiku malah terpeleset. Terlihat bang Bibir sudah sampai di dekat Arum.
“Bang Bibir,,itu mbak Ut gimana?” berusaha mencari solusi untukku.
Bang,,aku serius ini,,gak lagi becanda.” teriakku pada Bang Bibir.
Iya, Mbak...saya juga serius, kalo gak serius mana ada saya tolongin.” Katanya sembari mendekat ke arahku. Dengan bantuan Bang Bibir aku berhasil sampai di bibir kawah.
“Makasih, bang.” Kataku penuh malu.
Aku pun segera mengucap rasa syukur kepada Sang Pencipta. Duh, rasanya tadi itu pokoknya gak karuan. Etape Pasar Bubrah menuju bibir kawah merupakan rute berat yang kala itu membuat jantungku berdetak tak karuan akibat salah pilih jalur.

Puncak Tusuk Gigi (yang belakang jauh?)

Dasar Kawah Merapi

Still waiting you,,,, kata doi. wkwkwk

Saat aku berdiri di bibir kawah bau belerang dari arah kawah sangat menyengat. Pada musim hujan memang muncul asap belerang yang lebih banyak dibanding musim kemarau. Jangan lupa siapkan masker ataupun buff untuk meminimalisir masuknya gas belerang ke paru-paru kita. Kulihat waktu menunjukkan jam 12.30 WIB saat kami tiba di bibir kawah Merapi. Saat aku melihat ke bawah, dasar kawah Merapi tidak terlihat. Hal itu karena banyaknya asap yang keluar dari kawah sehingga membatasi pandangan mataku. Berbeda saat dulu aku mencapai titik ini pada bulan November 2013. Dasar dari kawah Merapi sangat terlihat jelas oleh mata telanjang. Cukup lama kami berada di area bibir kawah Merapi. Sembari menunggu Ike yang dikawal oleh bang kampleng menuju puncak, kami menghabiskan waktu untuk foto selfie. Segera setelah Ike dan bang Kampleng sampai, kami berfoto bersama di area puncak Merapi.
Fullteam,,Yeayy...

Kawahnya tertutup asap


Terima kasih gengs,,, 

Sekitar jam 2 siang kami segera turun menuju area camp karena takut kesorean. Turun menuju Pasar Bubrah sudah membuat kepalaku pening. Pening karena kepanasan. Kurasakan pipiku sudah mulai terbakar terik matahari. Seharusnya sebelum terpapar sinar matahari, area kulit yang terbuka diolesi sunblock terlebih dahulu. Aku dengan sangat fokus memilih batu pijakan yang kuat agar tidak terpeleset. Sampai di area pasir aku setengah berlari turun mengejar rekan yang sudah sampai di bawah. Menuruni trek pasir lebih mudah dari pada naik di trek pasir. Di area pasar bubrah aku sempat berhenti untuk foto berlatar Puncak Merapi yang terlihat begitu jelas tanpa terhalang kabut.

Terima kasih Merapi, kau tak pernah ingkar janji.. see you next time...

Saat aku berjalan bersama Imut sedangkan teman-teman bergegas menuju area camp, kami kehabisan air minum. Terpaksa kami berdua makan madu, maksudnya agar tenggorokan tidak begitu kering akibat kurangnya pasokan air ke dalam tubuh. Sepanjang trek aku dan Imut tertawa terpingkal-pingkal mengingat semua moment yang pernah kami lalui bersama. Moment di beberapa pendakian terakhir kami. Baru di Merapi ini aku bisa lepas tertawa di track bersama rekan pendakian. Biasanya lebih banyak diam karena saking lelahnya. Mungkin karena sama-sama cewek dan berdua saja, jadi kalau menggosipkan sesuatu pasti sinyal kami tersambung dengan lancar dan cepat bagaikan sinyal 4G. Sekitar jam 4 sore aku dan Imut menjadi orang terakhir yang sampai di Pos 1. Kami beristirahat sebentar dan berbincang dengan bang Mett. Ternyata dia sudah menyiapkan makan untuk kami semua. Ada puding, lauk, nasi sisa semalam, yang kurang hanya sayur saja. Katanya dia tidak bisa masak sayur asem. Padahal kami sudah meracik bahan sayur asem, tinggal dimasak saja. Karena hari semakin sore, kami makan apa adanya saja. Lauk kering tempe menjadi menu utama kami. Beberapa rekan ternyata masih lapar sehingga kami memasak mie instant dan bihun sebelum bongkar tenda. Kami makan bersama di gazebo pos 2. Semburat langit orange muncul di ufuk barat. Indah sekali sunset di pos 2.
Warna Senja di Merapi


Makan Bersama di Pos 2

Saat kami packing hari mulai beranjak malam. Kami mulai otw turun menuju NewSelo jam 18.30 WIB. Sayangnya saat perjalanan malam hari, headlamp kami ada yang mati. Mau tidak mau kami harus berjalan beriringan dan rapat karena tidak semua anggota memakai headlamp. Beberapa dari kami terpeleset di jalur karena hari sudah malam, fokus mulai berkurang drastis. Bisa jadi karena perut sudah mulai lapar lagi. Perjalanan terasa jauh. Kami harus bekerja sama saling menyinari agar rekan yang tidak memakai headlamp dapat melangkah dengan benar. Sampai di jalur paving kami mulai agak terpencar. Kami mendapat bantuan cahaya dari rembulan sehingga beberapa yang sudah lelah berjalan agak cepat. Saat kami tiba di warung ternyata warung yang kami titipi baju sudah tutup. Dengan dibantu pemilik warung sebelah, tak berapa lama kemudian, datang seorang pemuda yang membawa kunci dan membukakan warung tsb untuk kami. Arum segera mengambil kantong baju kami bersama. Dia juga berusaha membangunkan bang Bibir dan memberitahunya agar mengambil baju yang dia titipkan juga. Tetap saja bang Bibir tak beranjak dari bangku panjang tempat dia tidur.
Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Saat kami semua tiba di Temanggung, rumah salah satu karib-nya Bang Ponco and the geng, barulah diketahui bahwa ada baju yang tertinggal di warung Newselo. Baju bersih kepunyaan bang Bibir tertinggal di sana. Ada miskomunikasi di antara kami sehingga titipan bang Bibir terabaikan. Setelah sedikit berdebat akhirnya Bang Bibir sudah pasrah akan kejadian tsb. Akhirnya aku tidur jam 03.30 WIB setelah sempat ngrumpi asik bersama Irma.

"Aku senang berkumpul dengan orang-orang yang patah hati. Mereka tak banyak bicara. Mereka jujur dan berbahaya.Mereka pun tahu apa yang mereka cari. Mereka tahu dari diri mereka ada yang telah dicuri" (M.Aan Mansyur dengan sedikit gubahan).


Gegara beginian jadilah ketinggalan kereta ke Jakarta. Hiks....


...................to be continued...................... 

“Keseruan Main Air di Curug Hingga Harus Ketinggalan Kereta”     ^_*

Tidak ada komentar: