Plang Merapi 2930 mdpl |
Gunung Merapi termasuk gunung berapi yang masih aktif di
Pulau Jawa. Gunung ini terakhir meletus pada tahun 2010 yang juga menewaskan
sang Juru Kunci, Mbah Maridjan. Sebelum letusan tahun 2010, Merapi terkenal
dengan Puncak Garuda. Akibat letusan itu puncak Garuda telah hilang. Yang
tersisa sekarang adalah sebuah batu yang menjulang tinggi dan seorang pendaki
asal Jogja (Alm. Eri Yunanto) tahun 2015 terpeleset dan jatuh ke kawah dari
lokasi yang dinamakan Puncak tusuk gigi tersebut.
Aku bergabung dalam pendakian Merapi yang diprakarsai
oleh Bang Ponco and the geng. Kebetulan juga dalam rombongan
bang Ponco terdapat dua kawan yang pernah mendaki Semeru bersamaku yaitu Irma
dan Arum. Anggota dalam pendakian Merapi ini yaitu Bang Ponco, Bang Bibir, Bang
Kampleng, Ike, Bang Metthew, Arum, Irma, adiknya Irma dan aku. Mereka
bersembilan pada hari Sabtu pagi telah mendaki Andong tanpa ngecamp alias tektok.
Sabtu-Ahad,
15-16 April 2017
Aku sudah mengabari bang Ponco bahwa aku akan menunggu di
pertigaan Keteb. Bang Ponco, dkk berangkat menuju Keteb dari BC Andong,
sedangkan aku berangkat dari rumah di Nanggulan naik motor. Aku bersama adek otw sehabis sholat Ashar. Ternyata
mereka yang duluan sampai di Keteb dan harus menungguku. Aku terjebak macet
saat hampir sampai di Pertigaan Keteb. Aku bertemu dengan rekan-rekan di
pertigaan Keteb yaitu jam 17.10 WIB. Mobil yang disewa rombongan
Tangerang+Sukabumi sudah berisikan 9 orang plus driver. Awalnya agak gak enak juga mau ikut mobil mereka, karena
nanti di mobil semakin berdesakan oleh manusia. Tapi agar efektif akhirnya aku
masuk dan ikut mobil sampai di basecamp. Jam 17.30 WIB setelah packing ulang
tas keril di mobil, akhirnya kami berangkat menuju BC Barameru.
Mepo di pertigaan Keteb |
Hari sudah malam saat kami mampir membeli logistik di
sebuah toko dekat BC. Jam 19.00 WIB kami tiba di BC Barameru dan salah satu
rekan mendatangi pos registrasi dan mengurus simaksi pendakian kami. Simaksi
saat weekend sebesar Rp 18.500,-
untuk pendakian 2 hari 1 malam per orang. Basecamp Barameru terletak di Selo,
Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Dari BC kami harus berjalan kaki melewati
aspal yang menanjak untuk sampai di NEWSELO. Di sana terdapat beberapa mobil
yang parkir untuk mengantar pendaki yang naik Merapi. Warung-warung berjajar
menghadap ke arah Merbabu, yang jika cuaca cerah maka akan tampak pemandangan
yang indah gunung Merbabu. Sebelum mendaki kami makan malam di salah satu
warung. Kami juga menitipkan baju bersih yang tidak terpakai saat di Merapi
kepada ibu pemilik warung tsb. Perut telah diisi dan kami siap untuk start ngetrek. Kami mulai berjalan
meninggalkan warung jam 20.00 WIB.
Jalan paving(cor-semen)
mengawali perjalanan malam kami. Etape dari Newselo ke gerbang pendakian Merapi
didominasi ladang penduduk di sebelah kanan dengan track yang cukup menanjak sebagai starting point. Aku yang menjadikan pendakian kali ini sebagai
ajang pemanasan sebelum berangkat ke Rinjani, telah berkeyakinan dalam hati
bahwa tidak akan jalan santai seperti keong. Saat menjumpai jalan setapak yang
mulai bertambah kemiringannya dibanding jalan paving ternyata nafasku sudah
tersengal-sengal. Jalanku mulai melambat hingga sampai di Gerbang Pendakian.
Kami semua break agak lama di sana. Hawa
kantuk mulai menyerang. Tubuhpun mulai kedinginan karena terlalu lama berdiam
diri. Akhirnya salah satu rekan berkata “Yuk,
lanjut lagi, udah dingin.”
Kami segera berjalan kembali menuju pos 1. Trek tetap menanjak tanpa bonus. Aku
yang merasa sudah lemas, segera memakan coki-coki
yang telah kusiapkan di kantong kerilku. Perjalanan di malam hari membuat
paru-paru bekerja lebih ekstra karena oksigen yang kita hirup lebih sedikit.
Walau begitu, perjalanan malam membuat kita fokus untuk sampai tujuan karena
sekitar kita gelap dan jarang bisa mengeksplorasi pemandangan alam. Baterai handphone menjadi awet.
Di perjalanan menuju pos 1, kami bertemu percabangan
jalur dan kami dengan santainya ambil jalur sebelah kanan. Jam 22.30 WIB kami
sampai di pos 1 dan istirahat di shelter sembari menunggu teman yang masih di
belakang kami. Malam itu banyak pendaki yang naik Merapi. Tak dapat dipungkiri
bahwa mendaki saat longweekend pasti
akan menjumpai antrian di trek. Saat
melihat ada pendaki yang muncul dari arah bawah-samping batu besar yang dekat
dengan pos 1 barulah kusadari sesuatu. Dulu, saat mendaki Merapi pertama kali
di tahun 2013 aku melewati jalur yang sama dengan pendaki tersebut. Jalur ke
arah kanan akan membawa kita menuju pos 1 dalam waktu yang relatif singkat
tetapi medan yang lebih terjal dan cukup menyiksa. Sedangkan jalur ke arah kiri
juga didominasi tanjakan terjal dengan beberapa titik berupa tanah landai yang
agak memutar. Tahun 2013 aku dan rombongan mengambil jalur kiri sedangkan saat
aku bersama bang Ponco and the geng,
kami memilih jalur sebelah kanan. Beberapa saat kemudian rekan kami sudah
sampai.
“Gue udah gak kuat
kalo harus lanjut ke pos 2. Kita ngecamp sini aja “ ujar salah satu rekan
Berdasarkan mufakat, maka kami sepakat ngecamp di Pos 1 karena ada teman yang
kelelahan akibat paginya tektok
Andong. Di area pos 1 terdapat lapak yang bisa menampung 2 buah tenda. Karena
kondisi rekan sudah letih dan ngantuk kami hanya mendirikan 1 buah tenda saja.
Jam 23.30 WIB kami segera beristirahat. Yang tidur di dalam tenda adalah 4
orang cewek dan 1 cowok. Sedangkan 3 cowok lainnya tidur di teras tenda dan di luar tenda.
“Ada SB gak?”
tanya bang Ponco yang akan tidur di luar.
“Bang Ponco gak ada SB?”
“Gak ada, mbak.
Punya saya dipakai Ike.”
“Yaudah, nih pakai
aja. Ntar aku barengan sama Arum” kataku. Malam itu Ike terbangun karena
mengeluh ngilu. Segera kami berikan
minyak kayu putih padanya. Arum dan Bang Mett dengan cepat merespon keluhan Ike
dan merawatnya.
Subuh kami bangun, sholat dan mulai memasak air panas.
Tiga orang cewek keluar tenda dan membangunkan rekan yang tidur di luar dan
segera menyuruh mereka masuk ke tenda.
“Bang....masuk
tenda gih..!Gantian... Kami mau masak,” kataku.
Aku, Arum, dan Irma bagi tugas untuk memasak. Aku memasak
nasi, Irma meracik untuk sayur sop dan Arum meracik untuk tempe tepung-goreng.
Tak berapa lama bang Metthew muncul dan membantu kami
memasak. Membantu dan bikin rusuh itu beda tipis.hahaha.
Gunung Sumbing, Sindoro tampak dari pos 1 |
Pos 1, lapak tenda kami |
Sarapan telah siap. Kami membangunkan Ike, Bang Ponco,
Bang Kampleng dan bang Bibir. Ike segera kami suguhi minuman hangat.
“Minum dulu, Ike,
biar badannya enak.”
Setelah selesai sarapan, kami packing untuk summit
attack. Bang Mett yang sebelumnya sudah pernah muncak ke Merapi memutuskan
tidak ikut bersama kami.
“Gue gak ikut ya.
Udah pernah sih. Gue jaga tenda aja.”
“Yakin bang Mett,
gak ikut? Kalo gitu ntar kita turun summit udah ada makan siang dong ya...”
balas kami.
“ Iya deh,
diusahakan, kalo bisa gue masakin, kalo gak ya udah, gue gak masak.” jawabnya pasrah.
Jam 8 pagi kami mulai start summit attack. Untuk mencapai
puncak tentu dibutuhkan waktu yang lebih lama karena titik awal kami adalah pos
1. Aku sampai di Pasar Bubrah jam 10.30 WIB
Dari sekian etape menuju puncak Merapi, pos 1 ke pos 2
merupakan salah satu etape yang berat. Medan yang harus kami lalui berupa trek
terjal bebatuan. Sepanjang jalur menuju pos 2 kaki dipaksa melangkah melewati
batu cadas. Pemandangan Merbabu nan gagah di sebelah kanan membuat Aku, Arum
dan Irma sering berhenti untuk mengabadikan moment. Saat mereka sibuk berfoto
aku lantas mengatur nafasku yang sudah engap.
Pagi yang cerah dengan pundak yang santai tanpa beban membuat kami berjalan
dengan cepat. Saat bebatuan mulai habis itu berarti Pos 2 semakin dekat. Pos 2
merupakan salah satu spot mendirikan tenda. Tanah lumayan datar dan luas, serta
masih terdapat vegetasi untuk berlindung dari terpaan angin.
View Merbabu dari atas pos 1 |
Medan Menuju Pos 2 |
Bebatuan semua |
Menjelang pos 2 tampak puncak Merapi sangat dekat |
Sampai di pos 2 kami beristirahat sambil menunggu rekan
yang masih di belakang. Duduk menikmati semilir angin sembari ngobrol dengan 2
orang pendaki asal Bekasi membuat kami tertawa terbahak-bahak. Mereka membuat
teh untuk diminum bersama-sama. Satu gelas telah siap dan ditawarkan kepada
kami semua.
“Ayo, bang,,,
mbak,,, silakan diminum tehnya.”
Irma, Arum, Bang Bibir secara bergantian meminum teh
tersebut.
“Mbak uut, nih...”
kata Irma menyodorkan gelas itu padaku
“Enggak deh, Mut...”
kataku. Entah kenapa saat itu aku tidak mau minum teh tersebut. Padahal Aku termasuk
penyuka minum teh di ketinggian. Wkwkwkwk.
Gelas itu pun segera kembali ke tangan empunya. Lantas
dia minum dan berkomentar.
“Kog rasanya ada
yang kurang ya?” pikirnya
Kami semua terkejut dan penasaran. “Emang kenapa Bang? Enak kog.”
Tiba-tiba pendaki asal Bekasi yang satu lagi
nyeletuk, “Duh,,,gue lupa. Tadi tehnya belum di kasi gula.”
Temannya terkejut dan berkata, “Wah,,lu gimana sih...Tanggungjawab!”
“Yaudah sih,,,bikinin yang baru,,,pake gula tapi jangan lupa.”
Sontak kami semua tergelak menyadari bahwa walaupun teh
tanpa gula, tetapi tetap terasa nikmat.
“Kalian gak nyadar
apa, itu gak manis?” tanyaku
“Enggak mbak,,,enak
sih. Apa karena lagi haus ya,,sampe gak nyadar gitu.” jawab mereka.
Teh yang benar pun kemudian Aku yang pertama mencicipi. “Ini baru teh manis. Ha....”
Setelah berbincang cukup lama dan tidak nyaman melihat
sebelahku duduk memasak mie instant, aku bertanya pada Bang Bibir, “Gimana kalo kita nunggu mereka sambil jalan
lagi?”
“Mau jalan nih? Hayuk lah...” jawabnya.
“Bang duluan ya,,”
Kami pun berpamitan dengan pendaki asal pendaki dan juga pendaki yang sedang
memasak mie.
Sampai di watu
gajah kami berhenti sejenak untuk beristirahat. Di area watu gajah banyak
monyet berkeliaran. Beberapa terlihat mendekati tenda untuk mencari sisa
makanan dari pendaki. Ada juga monyet yang sedang bergelantungan di pohon.
“Bang Ponco, Ike, Bang Kampleng belum kelihatan nih... mau lanjut?”
“Lanjut aja, kita tunggu di Pasar Bubrah”
Kami pun segera menuju titik terakhir sebelum puncak
Merapi. Meninggalkan Watu gajah kami merasakan hawa panas kian menyengat. Jam
10 pagi kala itu dan matahari tengah membagikan sinarnya pada penduduk bumi.
Pasar Bubrah cukup ramai. Pasar bubrah di Merapi ibarat alun-alun karena area
tersebut berupa tanah datar tanpa vegetasi yang dipenuhi oleh bongkahan
batu-batu material vulkanik berbagai ukuran. Ada yang jumbo, ukuran sedang dan
ukuran kecil layaknya kerikil. Beberapa tenda tampak dibangun dekat dengan batu
yang sangat besar di area itu. Kami semua duduk beristirahat dan menikmati
suasana Pasar Bubrah. Banyak pendaki yang berfoto bersama di papan penanda yang
bertuliskan “Pasar Bubrah”. Tak
terkecuali kami semua. Selesai berfoto ria di sana, akhirnya sampai juga Ike,
Bang Ponco dan Bang Kampleng di Pasar Bubrah. Walaupun panas kian menyengat
kami tetap semangat untuk antri foto bersama fullteam (tanpa bang Mett). Kabut yang datang menutup Puncak Merapi
kala itu membuat kami sempat was-was. Setelah yakin di puncak akan cerah maka
kami semua memantapkan hati untuk menggapai Puncak Merapi.
Fokusnya berantakan |
Pasar Bubrah (fullteam) |
Bareng gadis Sukabumi |
Belakang kami udah Puncak Merapi |
Jam 11.30 WIB kami semua berjalan beriringan menuju
Puncak Merapi. Sampai di papan peringatan “STOP!!
Berhenti di Sini. Batas Aman Pendakian” aku berhenti sejenak dan berdoa
agar kami serombongan selamat sampai turun kembali ke BC. Sebenarnya pihak
pengelola sudah memberikan rambu-rambu yang seharusnya dipatuhi oleh para
pendaki bahwa pendakian Merapi hanya sampai di Pasar Bubrah. Tapi apalah daya,
karena pengaruh ego yang kuat dari kami, peringatan tersebut seolah tidak
terlihat. “Udah jauh-jauh sampai sini,
masak gak muncak?Yang penting tetap keep safety dan cuaca mendukung” begitulah
salah satu kalimat pembenaran dari kami.
Jalur melipir ke kiri dulu baru naik |
Puncak tertutup kabut |
Medan pasir saat melipir |
Tampak Pasar Bubrah jika difoto dari atas |
Mulai dari titik ini terlihat jejak kaki para pendaki
yang berjalan melipir ke arah kiri naik lalu belok kanan dan mulai lurus naik
untuk mencapai bibir kawah Merapi. Berjalan pada medan berpasir yang penuh
kerikil cukup menyulitkanku. Trek pasir halus itu menyebabkan langkah kakiku
terasa berat. Beberapa kali tubuhku oleng karena tangan tak mempunyai pegangan.
Perlahan tapi pasti akhirnya kami bisa melalui trek pasir dan selanjutnya telah
membentang bebatuan yang cukup rapuh yang bisa menggelinding kalau kita salah
ambil pijakan.
Mendekati puncak Merapi |
Setapak demi setapak dengan sangat berhati-hati aku
memilih batu tempat berpijak. Sambil terus berdoa, aku ajak tanganku bekerja
sama untuk menopang keseimbangan tubuh saat di track. Arum terlihat sangat gesit mengejar Puncak Merapi. Aku
sesekali menengok ke belakang dan terlihat beberapa pendaki yang tengah
berjuang sepertiku. Jalur bebatuan yang aku pilih ternyata terlalu ke kiri dan
tak kusadari hal itu sangat berbahaya. Aku hanya mengikuti 2 orang pendaki yang
berada di jalur tersebut. Saat mendekati puncak kulihat dua pendaki itu merayap
di tanah. Aku mengumpat dalam hati saat aku merasakan jalur itu langsung.
“Arrghhh...susah sekali ini” kataku. Saat itu aku melihat Arum sudah melambai-lambai
ke arahku.
“Mbak ut, jangan lewat situ. Berbahaya. Lewat situ
aja,” katanya sambil menunjuk ke arah sisi kananku yang notabene cukup
jauh.
“Susah,
Arum,,,gimana ini?” ujarku panik. Padahal bibir kawah tinggal 8 meter dari
posisiku saat itu. Aku masih berusaha merayap saat kakiku malah terpeleset.
Terlihat bang Bibir sudah sampai di dekat Arum.
“Bang Bibir,,itu mbak Ut gimana?” berusaha mencari solusi untukku.
“Bang,,aku serius
ini,,gak lagi becanda.” teriakku pada Bang Bibir.
“Iya, Mbak...saya
juga serius, kalo gak serius mana ada saya tolongin.” Katanya sembari
mendekat ke arahku. Dengan bantuan Bang Bibir aku berhasil sampai di bibir
kawah.
“Makasih, bang.” Kataku penuh malu.
Aku pun segera mengucap rasa syukur kepada Sang Pencipta.
Duh, rasanya tadi itu pokoknya gak
karuan. Etape Pasar Bubrah menuju bibir kawah merupakan rute berat yang
kala itu membuat jantungku berdetak tak karuan akibat salah pilih jalur.
Puncak Tusuk Gigi (yang belakang jauh?) |
Dasar Kawah Merapi |
Still waiting you,,,, kata doi. wkwkwk |
Saat aku berdiri di bibir kawah bau belerang dari arah
kawah sangat menyengat. Pada musim hujan memang muncul asap belerang yang lebih
banyak dibanding musim kemarau. Jangan lupa siapkan masker ataupun buff untuk meminimalisir masuknya gas
belerang ke paru-paru kita. Kulihat waktu menunjukkan jam 12.30 WIB saat kami
tiba di bibir kawah Merapi. Saat aku melihat ke bawah, dasar kawah Merapi tidak
terlihat. Hal itu karena banyaknya asap yang keluar dari kawah sehingga
membatasi pandangan mataku. Berbeda saat dulu aku mencapai titik ini pada bulan
November 2013. Dasar dari kawah Merapi sangat terlihat jelas oleh mata
telanjang. Cukup lama kami berada di area bibir kawah Merapi. Sembari menunggu
Ike yang dikawal oleh bang kampleng menuju puncak, kami menghabiskan waktu
untuk foto selfie. Segera setelah Ike
dan bang Kampleng sampai, kami berfoto bersama di area puncak Merapi.
Fullteam,,Yeayy... |
Kawahnya tertutup asap |
Terima kasih gengs,,, |
Sekitar jam 2 siang kami segera turun menuju area camp
karena takut kesorean. Turun menuju Pasar Bubrah sudah membuat kepalaku pening.
Pening karena kepanasan. Kurasakan pipiku sudah mulai terbakar terik matahari.
Seharusnya sebelum terpapar sinar matahari, area kulit yang terbuka diolesi sunblock terlebih dahulu. Aku dengan
sangat fokus memilih batu pijakan yang kuat agar tidak terpeleset. Sampai di
area pasir aku setengah berlari turun mengejar rekan yang sudah sampai di
bawah. Menuruni trek pasir lebih mudah dari pada naik di trek pasir. Di area
pasar bubrah aku sempat berhenti untuk foto berlatar Puncak Merapi yang
terlihat begitu jelas tanpa terhalang kabut.
Saat aku berjalan bersama Imut sedangkan teman-teman
bergegas menuju area camp, kami kehabisan air minum. Terpaksa kami berdua makan
madu, maksudnya agar tenggorokan tidak begitu kering akibat kurangnya pasokan
air ke dalam tubuh. Sepanjang trek aku dan Imut tertawa terpingkal-pingkal
mengingat semua moment yang pernah kami lalui bersama. Moment di beberapa
pendakian terakhir kami. Baru di Merapi ini aku bisa lepas tertawa di track bersama rekan pendakian. Biasanya
lebih banyak diam karena saking lelahnya.
Mungkin karena sama-sama cewek dan berdua saja, jadi kalau menggosipkan sesuatu
pasti sinyal kami tersambung dengan lancar dan cepat bagaikan sinyal 4G. Sekitar
jam 4 sore aku dan Imut menjadi orang terakhir yang sampai di Pos 1. Kami
beristirahat sebentar dan berbincang dengan bang Mett. Ternyata dia sudah
menyiapkan makan untuk kami semua. Ada puding, lauk, nasi sisa semalam, yang
kurang hanya sayur saja. Katanya dia tidak bisa masak sayur asem. Padahal kami
sudah meracik bahan sayur asem, tinggal dimasak saja. Karena hari semakin sore,
kami makan apa adanya saja. Lauk kering tempe menjadi menu utama kami. Beberapa
rekan ternyata masih lapar sehingga kami memasak mie instant dan bihun sebelum
bongkar tenda. Kami makan bersama di gazebo pos 2. Semburat langit orange
muncul di ufuk barat. Indah sekali sunset di pos 2.
Warna Senja di Merapi |
Makan Bersama di Pos 2 |
Saat kami packing hari mulai beranjak malam. Kami mulai otw turun menuju NewSelo jam 18.30 WIB.
Sayangnya saat perjalanan malam hari, headlamp
kami ada yang mati. Mau tidak mau kami harus berjalan beriringan dan rapat
karena tidak semua anggota memakai headlamp.
Beberapa dari kami terpeleset di jalur karena hari sudah malam, fokus mulai
berkurang drastis. Bisa jadi karena perut sudah mulai lapar lagi. Perjalanan
terasa jauh. Kami harus bekerja sama saling menyinari agar rekan yang tidak
memakai headlamp dapat melangkah
dengan benar. Sampai di jalur paving kami mulai agak terpencar. Kami mendapat
bantuan cahaya dari rembulan sehingga beberapa yang sudah lelah berjalan agak
cepat. Saat kami tiba di warung ternyata warung yang kami titipi baju sudah
tutup. Dengan dibantu pemilik warung sebelah, tak berapa lama kemudian, datang
seorang pemuda yang membawa kunci dan membukakan warung tsb untuk kami. Arum
segera mengambil kantong baju kami bersama. Dia juga berusaha membangunkan bang
Bibir dan memberitahunya agar mengambil baju yang dia titipkan juga. Tetap saja
bang Bibir tak beranjak dari bangku panjang tempat dia tidur.
Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Saat kami
semua tiba di Temanggung, rumah salah satu karib-nya Bang Ponco and the geng, barulah diketahui bahwa
ada baju yang tertinggal di warung Newselo. Baju bersih kepunyaan bang Bibir
tertinggal di sana. Ada miskomunikasi di antara kami sehingga titipan bang
Bibir terabaikan. Setelah sedikit berdebat akhirnya Bang Bibir sudah pasrah
akan kejadian tsb. Akhirnya aku tidur jam 03.30 WIB setelah sempat ngrumpi asik bersama Irma.
"Aku senang berkumpul dengan orang-orang yang patah hati. Mereka tak banyak bicara. Mereka jujur dan berbahaya.Mereka pun tahu apa yang mereka cari. Mereka tahu dari diri mereka ada yang telah dicuri" (M.Aan Mansyur dengan sedikit gubahan).
"Aku senang berkumpul dengan orang-orang yang patah hati. Mereka tak banyak bicara. Mereka jujur dan berbahaya.Mereka pun tahu apa yang mereka cari. Mereka tahu dari diri mereka ada yang telah dicuri" (M.Aan Mansyur dengan sedikit gubahan).
Gegara beginian jadilah ketinggalan kereta ke Jakarta. Hiks.... |
...................to be continued......................
“Keseruan Main Air di Curug Hingga Harus Ketinggalan Kereta” ^_*