Gunung Tambora sudah masuk dalam waiting list-ku sejak akhir tahun
2017, tapi aku tak menyangka secepat ini akan mendapat ajakan mendaki ke sana.
Berawal dari DM seorang kawan yang notabene
sudah lama berkecimpung dalam kegiatan outdoor,
“Mbak, posisi di mana? Saya lagi di Sumbawa nih!”, akhirnya perjalanan kami yang luarbiasa dimulai.
“Mbak, posisi di mana? Saya lagi di Sumbawa nih!”, akhirnya perjalanan kami yang luarbiasa dimulai.
Gunung Tambora merupakan salah
satu gunung yang berada di perbatasan kabupaten Bima dan kabupaten Dompu di
Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Sebagai Geopark Nasional Indonesia, gunung
Tambora tidak hanya menawarkan potensi keragaman hayati di dalamnya. Sejarah
letusan dasyat gunung Tambora pada tahun 1815 memunculkan kaldera yang sangat
luas, bahkan terluas di Asia. Akibat letusan dengan kekuatan 171 ribu kali bom
atom Hiroshima ini, gunung Tambora juga kehilangan hampir separuh dari
ketinggian awal yang mencapai 4200 mdpl.
Jalur pendakian Gunung Tambora yang
populer antara lain:
1. Pancasila
(Dompu)
2. Kawinda
Toi, jalur baru dan diresmikan Desember 2017 (Bima)
Durasi pendakian jalur Kawinda Toi dinyatakan lebih singkat
daripada jalur pancasila. Tetapi kami memilih mendaki Tambora via Pancasila.
Mengapa? Karena kami mempertimbangkan jika tanpa guide lokal, maka pilihan yang
tepat adalah lewat desa Pancasila. Yap, kami (yang pada kenyataannya hanya
berdua saja dan belum pernah mendaki Tambora) akhirnya sepakat memilih desa
Pancasila sebagai tempat meeting point.
Bisa dibilang pendakian Tambora ini merupakan perjalanan
paling mendadak seumur hidup. Dalam waktu 2 hari sejak ada ajakan dari kawan,
aku akhirnya memutuskan untuk berangkat ke Pulau Sumbawa. Beruntungnya aku,
walaupun sempat kehabisan tiket kapal menuju Sumbawa akhirnya dengan bantuan
kawan di Sumba, aku bisa menyeberang ke Sumbawa.
Hari Sabtu malam, kapal khusus penumpang yaitu Awu bertolak
dari pelabuhan Waingapu, Sumba Timur, NTT menuju pulau Sumbawa, NTB. Perjalanan
satu malam di laut pada musim mudik, membuatku tidak dapat tidur karena aku dan
rombongan teman-temanku yang akan mudik ke Jawa tidak mendapat tempat duduk.
Akhirnya aku tidur di geladak kapal, berselimutkan jaket dan beralaskan trash bag yang kubawa. Dinginnya angin
malam dan suara langkah kaki orang-orang yang lalu-lalang tak kupedulikan.
Kupaksakan mataku terpejam, agar esok hari badan lebih segar dan bisa
melanjutkan perjalanan via darat dengan lancar.
Minggu pagi sekitar jam 08.00 WITA, kapal berlabuh di
Pelabuhan Kota Bima. Salah seorang kawan, sebut saja Bang Ahsan yang akan
mengantarku ke halte bis menuju Desa Pancasila. Pelabuhan Bima menuju kota
Dompu ditempuh selama 2 jam dengan sepeda motor. Aku mampir ke kota Dompu
karena menitipkan beberapa barang yang tidak perlu dibawa selama pendakian.
FYI, dari pelabuhan kota Bima, kita bisa mencari bis jurusan Bima-Calabai mapun
Bima-Kedindi untuk mencapai desa Pancasila.
Aku menunggu bis di cabang Bango, tidak jauh dari terminal
Dompu. Sore hari menjelang jam 16.00 WITA akhirnya bis yang menuju Kedindi
tiba. Jangan bayangkan bis di Sumbawa sama bagusnya dengan bis di Jawa. Saat
aku masuk ke dalam bis, aku kaget karena celah antara kursi di sayap kanan dan
kiri disambung dengan sebilah papan agar bisa diduduki penumpang. Awalnya aku
susah menemukan posisi nyaman untuk berdiri. Bis penuh dengan barang muatan
para penumpang. Akhirnya seorang pria mengalah dan memberikan tempat duduknya
padaku. Jadilah aku duduk di kursi papan darurat.
Pemandangan menjelang malam sungguh indah, padang rumput
terbentang di sebelah kanan-kiri ditemani segerombolan ternak (sapi) liar yang
sengaja “diumbar” sang pemilik. Ombak pantai terlihat sangat indah dari jalan
raya. Jalan aspal nan mulus dengan kelak-kelok menyusuri pinggir tebing
merupakan sensasi khas alam sumbawa. Perjalanan selama 4 jam di dalam bis cukup
menguras tenaga. Betapa tidak. Setiap ada penumpang yang turun dan lewat ke
arahku, aku harus bergeser dan menunduk agar badanku tidak terkena kaki mereka.
Saat tiba di Pasar Senen, hari sudah malam. Jam “Guess” di
tanganku menunjukkan pukul 20.00 WITA. Pasar Senen merupakan sebuah pasar yang
ramai terjadi transaksi jual beli pada hari Senen, maka disebut Pasar Senen. Dari
Pasar Senen kita bisa melanjutkan perjalanan menuju BC pak Saiful di desa
Pancasila menggunakan ojek dengan harga normal 30 ribu. Posisi kawan (sebut
saja Adul) saat itu berada di penginapan Zulfikar sekitar 1 km dari Pasar
Senen. Dari penginapan Zulfikar kami naik ojek menuju BC pak Saiful dengan
harga 50ribu per orang. Tarif ojek di sana cenderung naik ketika hari sudah
malam. Jalan yang sepi dengan medan agak rusak dan penuh tanjakan membuat kang
Ojek sangat berhati-hati mengendarai motornya yang kami naiki bertiga. Iya “Cenglu” kalau istilah Jawa, kang Ojek di
depan bersama tas kerilku, Adul berada di tengah, dan aku paling belakang. Untung
saja kerilnya Adul sudah diangkut ke BC sejak hari Sabtu. Sebenarnya, Adul
sudah tiba di desa Pancasila sejak hari Sabtu. Dan kami sepakat mulai ngetrek Senin pagi.
BC pak Saiful terletak di desa Pancasila, kecamatan Pekat,
kabupaten Dompu, NTB. Di basecamp ada beberapa kamar yang disediakan untuk
pendaki beristirahat sebelum atau sesudah pendakian. Tarif tiap kamar yaitu Rp 100.000,- per malam dengan fasilitas kamar mandi luar (kamar mandi umum). Kamar
cukup luas dan tersedia sebuah kasur busa yang cukup untuk 4 orang. Di BC pak
Saiful terdapat listrik tapi tidak ada sinyal (berkebalikan dengan Mahambala
yang tanpa listrik tapi ada sinyal, wkwk).
BC-POS 1
Senin jam 07.00 WITA kami sarapan mie rebus sekadar untuk mengganjal
perut. Selesai packing dan mengurus simaksi kami berpamitan dengan Pak syaiful.
Sembari menggambarkan peta secara kasar, beliau menyarankan kami agar naik ojek
dari BC ke pintu rimba. Agar lebih menghemat waktu dan tenaga kami putuskan
untuk naik ojek sampai di pintu rimba. Perjalanan dengan ojek pun tak semulus
yang kukira. Tanah padat minim batu dengan banyak jejak ban motor serta truk
membuat medan semakin licin karena di sekitar merupakan hutan rakyat yang cukup
rapat. Beberapa kali aku harus turun karena motor tidak kuat menanjak di jalan
yang licin. Sensasi seperti ini kudapatkan juga kalau berkendara menuju
Mahambala. (Mahambala terus, sih?!)
Kami mulai ngetrek dari pos rimba jam 09.00 WITA. Melewati
pintu rimba kami melewati jalan setapak yang lama kelamaan berubah menjadi
jalur bekas ban motor. Mulai dari awal trekking aku diminta jalan didepan.
Kalau aku jalan di belakang pasti aku akan ketinggalan sangat jauh dari Adul.
Maklum saja, kawanku ini sudah sering jadi guide sekaligus porter dalam suatu
pendakian. Sudah tak dapat dipungkiri bahwa dengkul kami beda kekuatan. (Hahaha, Piss ya DuL... )
Belum ada 1 jam menyusuri hutan, Adul mulai bimbang antara
tetap lurus ikuti jalur motor atau belok kiri yang mana terdapat rafia yang
diikat pada ranting sebatang pohon sebagai penunjuk jalan. Keberadaan peta yang
kami pegang tidak membantu banyak. Peta yang kami dapat dari BC merupakan peta menuju
puncak dari pos 5. Sedangkan dari pintu rimba sampai pos 5 kami tidak punya
petunjuk. Akhirnya kami putuskan belok kiri dan ternyata kami sampai di jalan
yang lebih lebar di mana kendaraan roda empat pun bisa lewat. Kami mulai ragu,
tetapi kami tetap berjalan hingga menemukan sebuah Pura yang ternyata merupakan
pusat kegiatan keagamaan umat Hindu di Pulau Sumbawa. Di dekat Pura kami
menemukan rumah. Sayangnya kami tak menjumpai seorang warga di sana.
Kemungkinan warga sedang pergi berladang. Tak berapa lama kemudian, kami
bertemu seorang warga dan mendapat info bahwa arah pos 1 masih lurus terus
menuju kampung Bali. Kampung Bali termasuk wilayah kabupaten Bima. Di kampung
tersebut banyak perantau asal Bali yang menetap di sana, hingga warga Kampung
bali mempunyai Pura khusus sebagai tempat mereka beribadah di wilayah tersebut.
Setelah mendapat petunjuk rute menuju
pos 1 dari salah seorang warga kampung Bali, jam 10.30 WITA kami segera
melanjutkan perjalanan.
Abaikan yang Kaos Merah |
Di pinggir jalan kami menemukan bangkai ular piton
berukuran sebesar paha orang dewasa. Tampak di tengah jalan tercecer bekas
darah ular tersebut. Bau anyir seketika tercium oleh hidung kami. Ternyata ular
tersebut sengaja dibunuh karena meresahkan warga sekitar. Sepengetahuan kami,
gunung Tambora memang merupakan habitat ular piton. Entah kenapa ular piton
bisa sampai di area pemukiman penduduk sekitar.
Kami melewati pos 3 buah dan meyakini bahwa kami harus
terus berjalan lurus. Padahal di pos (yang terdiri dari 3 buah bale-bale) itulah seharusnya kami ambil
kanan dan terus berjalan naik. Pada akhirnya kami tahu kalau kami nyasar
kembali setelah bertanya pada 2 orang warga yang sedang beraktivitas di sekitar
kebun kopi. Nyasar 2 kali untuk mencapai pos 1 membuat kami lelah dan cukup
stres. Saat itu yang kami pikirkan adalah bagaimana caranya sampai di pos 1 dan
bisa istirahat.
Nyasar di area kebun kopi warga |
Dari pos 3 buah kami mulai melewati kebun kopi dan jalan
mulai menanjak. Setelah melewati jalan “cor” dan terdapat pipa air, kami tiba
di jalan setapak dominasi tanah yang sering dilalui sepeda motor. Ojek dari BC
pun ada yang sanggup sampai pos 1 dengan biaya lebih mahal tentunya. Mindset di
otak yang cenderung negatif karena sempat nyasar dan perut yang kelaparan
membuat langkah kakiku gontai. Akhirnya aku minta “break”. Di pinggir jalan
kami minum untuk sekadar membasahi tenggorokan. Beberapa motor tampak
lalu-lalang membawa kayu hasil penebangan hutan rakyat. Secara spontan kami
punya ide untuk ngojek-in keril kami
sampai di pos 1. Dan kang Ojek yang bersedia itu adalah seorang anak yang masih
seumuran dengan siswa SMP/SMA. Setelah 20 menit kami berjalan, sampailah kami
di pos 1. Sayangnya, kang ojek kami tak terlihat batang hidungnya. Hanya 2 tas
keril kami sudah nangkring di pos 1.
Dia memang Malaikat bagi kami, bersedia menolong tanpa diberi upah.
POS 1 – POS 2
Kami istirahat di pos 1 selama 40 menit. Adul sibuk mengisi
botol kosong kami dengan air dan aku hanya duduk diam mengatur nafas. Sesekali
kami membahas kisah nyasar kami yang dramatis. Alhamdulillah, walau nyasar,
akhirnya sampai juga di pos 1.
Perjalanan yang sebenarnya dimulai dari pos 1. Untuk menuju
pos 2 kami melewati jalan setapak yang sempit dan dipenuhi semak belukar.
Kadang dibutuhkan parang untuk menebas semak yang menghalangi jalur pendakian. Tak
jauh dari pos 1 kami bertemu dengan rombongan pendaki dari Eropa yang tampak
berjalan turun menuju pos 1. Mereka ditemani oleh guide lokal. Setelah
bertegur-sapa dengan para guide, kami bergegas menuju pos 2.
Di pos 2 terdapat mata air berupa sungai yang sangat
jernih. Di area ini ideal sebagai tempat memasak karena sumber air yang sangat
dekat. Tinggal turun sekitar 20 meter ke arah jalur menuju pos 3 maka kita akan
temukan sumber air di pos 2.
Sumber air di Pos 2 |
Terdapat 2 buah bale-bale yang dinaungi pohon yang sangat
besar di area pos 2. Untuk kondisi tertentu, pos 2 dapat dijadikan sebagai campsite.
POS 2 – POS 3
Dari pos 2 perjalanan masih berupa jalan setapak penuh
semak belukar. Kadang kita jumpai turunan, kadang juga tanjakan. Hutan menjadi
lebih rapat dan jalan akan terasa sangat licin dan berat saat musim hujan. Saat
musim hujan, hutan di Tambora akan memunculkan lebih banyak pacet. Pakailah
gaither dan semprotkan area sepatumu dengan baigon
semprot untuk meminimalisir serangan pacet. Tak jarang kami jumpai pohon-pohon
tumbang yang menghiasi perjalanan kami. Ada saatnya merangkak lewat di bawah
pohon yang tumbang, tapi seringkali kami lewat atas, meniti pohon tumbang
tersebut.
Pos 3 merupakan area camp yang paling luas di antara pos
yang lain. Kami tiba di pos 3 jam 17.30 WITA. Pelajaran paling berharga bagi
kami, jangan lupakan hal-hal kecil yang dapat berakibat fatal saat berada di
rimba raya. Kami lupa bertanya letak sumber air pada pak Syaiful maupun
serombongan pendaki yang sempat kami temui di jalur. Setelah berusaha mencari
sumber air, Adul akhirnya menemukan sumber air yang ternyata masih harus
berjalan lurus, barulah turun sekitar 200 meter ke arah kanan. Kami baru
menemukan sumber air jam 18.30 WITA. Artinya butuh waktu 1 jam bagi kami bisa
menemukan sumber air setelah berputar-putar di sekitar pos 3. Banyak adegan
konyol yang tercipta saat aku kelelahan mengikuti Adul mengambil air.
Terpeleset, jatuh ke bibir jurang, tapi untungnya semua bisa aman terkendali.
Malam itu hanya ada tenda kami di pos 3. Adul menyalakan
api unggun sebagai tindakan antisipasi atas liarnya rombongan babi hutan di
sana. Tetap waspada, konon katanya banyak babi liar yang kadang mencari makan
di area pos 3. Jangan sampai mereka mengobrak-abrik logistik ataupun tenda
kita. Setelah makan malam aku tak banyak bicara. Badan rasanya sangat lelah dan
ingin segera tidur. Akhirnya aku tidur duluan.
POS 3 – POS 4
Pagi hari, badan terasa lebih segar. Suasana pagi di pos 3
sangat riang. Suara burung berkicau terdengar tak ubahnya bagai nyanyian penyemangat
bagi kami. Setelah makan, beres-beres dan packing keril, jam 09.30 kami
melanjutkan perjalanan kembali.
Dari pos 3 menuju pos 4, siapkan sarung tangan dan buff
karena kita akan menjumpai jelatang di kanan kiri trek yang mendominasi
perjalanan. Jangan sampai terkena sentuhan lembut jelatang karena kulit kita
akan menjadi perih dan panas. Trek mulai menanjak dan irama detak jantungku
mulai tak beraturan. Jarak dari pos 3 ke pos 4 terbilang dekat jika
dibandingkan dengan jarak pos 2 ke pos 3. Mendekati pos 4 kita akan menjumpai
pohon-pohon cemara yang menjulang tinggi. Pos 4 merupakan area datar yang cocok
untuk membuka bekal logistik. Tidak ada sumber air di pos 4. Kabut siang itu
begitu mistik di pos 4. Kabut yang cukup magis tersebut sayang sekali jika
dilewatkan tanpa berfoto. Beberapa kali kami mengambil foto dengan berbagai
gaya. Hasilnya luar biasa.
Setelah cukup istirahat dan berfoto, kami segera
melanjutkan perjalanan menuju pos 5.
POS 4 – POS 5
Sejak awal perjalanan meuju pos 5 semakin banyak jelatang
yang menyambut. Tetap gunakan kaos lengan panjang, celana panjang, masker/buff
serta sarung tangan agar kulit kita tetap aman dari sengatan jelatang.
Jarak pos 4 ke pos 5 cukup dekat, hanya butuh 1 jam untuk
sampai di pos 5. Pos 5 merupakan area yang cukup terbuka dan bisa dijadikan
sebagai campsite. Banyak bekas api
unggun yang terlihat di pos 5. Kalau kalian ingin mendaki Tambora dalam waktu 2
hari 1 malam, berarti pos 5 merupakan tempat yang pas untuk mendirikan tenda.
POS 5 – Bibir
Kaldera
Dari pos 5 kita akan turun ke
bawah ke arah kanan dan menjumpai aliran sungai yang kering saat musim kemarau.
Sumber air terakhir di tambora adalah sebuah genangan air yang cukup banyak di
sungai yang kering tersebut. Saat kami ke sana, sebenarnya air di kubangan itu
tidak layak dikonsumsi karena bau dan warnyanya sudah berubah. Karena bekal air
sudah habis, kami tetap mengambil air untuk selanjutnya dimasak sebelum
dikonsumsi.
Sumber air saat musim kemarau di sekitar Pos 5 |
Hati-hati memilih batu untuk pijakan karena cukup licin |
Meninggalkan sungai yang kering,
kami berjalan naik menyusuri trek yang didominasi perdu, rerumputan dan pohon
cemara. Sampai di pos Cemoro Tunggal kami mulai membaca peta dari pak Saiful.
Pos cemoro tunggal merupakan salah satu titik di mana kita bisa memperoleh
sinyal walaupun lemah. Di pos Cemoro Tunggal terdapat makam/monumen in memoriam
seorang Guide Lokal pertama yang sangat terkenal yang meninggal di Gunung
Tambora saat mengantar tamu naik Tambora.
Cemoro Tunggal |
Setelah melalui Cemoro Tunggal
kami ambil arah tanjakan ke kanan, sesuai arahan peta dari pak Saiful. Mulai di
titik ini, aku persilahkan Adul untuk jalan duluan. Adul pun mulai berjalan
duluan untuk mencari lapak ngecamp. Trek
yang dilewati semakin menanjak dan nafasku mulai tak stabil sejak meninggalkan
genangan air. Jalan setapak mulai terbuka dan berubah menjadi medan berbatu
yang didominasi pasir. Mirip dengan trek pasir letter “S” di Rinjani. Trek
pasir inilah yang akan mengantarkan kami sampai di bibir Kaldera. Ada suatu
titik yaitu medan berpasir sangat lembut, yang cukup menguras tenaga, padahal
landai. Aku hanya bisa menyeret sepatuku karena sudah letih.
Trek pasir di area bibir kawah Tambora |
Kabut Sore |
Aku sampai di bibir kaldera jam
16.00 WITA. Di bibir Kaldera, pasir mulai padat dan bercampur dengan batu. Kulihat
Adul menyusulku untuk menunjukkan lapak yang telah dipilih. Kita harus cermat
memilih tempat untuk ngecamp. Tanah di bibir kaldera yang tergolong rapuh
menjadi alasan kami untuk tidak mendirikan tenda sembarangan. Angin di sekitar
kaldera yang minim vegetasi membuat Adul harus memasang patok tambahan lebih
banyak dari biasanya.
Porter, Guide, sekaligus Koki multitalenta |
Kawah Tambora |
Candid |
Plang hasil karya Adul dengan memanfaatkan seng bekas dan arang |
Kami bisa menikmati indahnya
sunset di kaldera Tambora. Saat matahari terbenam, kami melihat warna jingga
matahari membalut pemandangan Rinjani. Lukisan nyata Sang Pencipta memang
sangat luarbiasa. Kaldera yang sangat luas terbentang di depan tenda. Gugusan
bintang di langit malam tampak memukau mata, membuat siapapun yang berada di
sana larut dalam obrolan malam yang penuh rahasia. Angin malam yang semakin
dingin menyudahi dialog kami. Suasana yang sangat sunyi semakin terasa syahdu
bersama alunan musik dari speaker yang Adul bawa,
“.........................................
Dia telah sangat menyumbar tanya
Termenung memendam perih usia
..............................................
Indah surganya takkan seindah di surgaNya
Tambora menjadi latar belajar manusia
Kenali bahasa alam Tambora
................................................”
OST Tambora, The Trail of Ancestor
Bibir Kaldera –
PUNCAK
Diperlukan waktu summit attack sekitar
15 menit dari tenda kami di bibir kaldera. Puncak gunung Tambora sangat indah.
Hamparan pulau Satonda, pulau Moyo serta gagahnya kaldera Tambora membuat kami
tidak berhenti bersyukur karena telah sampai di tempat ini.
Puncak Tambora |
Sisi lain puncak Tambora |
Ketinggian gunung Tambora pasca
letusan hebat tahun 1815 yaitu 2851 mdpl. Kaldera yang terbentuk mempunyai
diameter antara 6 – 8 kilometer dengan kedalaman kaldera mencapai 1300 meter.
Tak heran kaldera Tambora menjadi kaldera terluas di Asia.
Di puncak Tambora juga terdapat
tugu in memoriam Wakil Menteri ESDM era pak SBY, yaitu Widjajono Partowidagdo
yang meninggal saat berada di sekitar kaldera Tambora.
Setelah puas menikmati suasana puncak dan berfoto, kami segera turun ke area camp. Adul tidak ingin lama-lama di bibir kaldera dan ingin segera turun ke BC.
“Oke”, kataku agak curiga padanya.
Baru kali ini aku mendengar Adul ingin cepat-cepat turun dari gunung. Terdengar agak aneh. Segera ku buang pikiran penuh tanda tanya agar perjalanan turun kami bisa lancar.
Setelah puas menikmati suasana puncak dan berfoto, kami segera turun ke area camp. Adul tidak ingin lama-lama di bibir kaldera dan ingin segera turun ke BC.
“Oke”, kataku agak curiga padanya.
Baru kali ini aku mendengar Adul ingin cepat-cepat turun dari gunung. Terdengar agak aneh. Segera ku buang pikiran penuh tanda tanya agar perjalanan turun kami bisa lancar.
Tenda tampak dekat |
Tenda tampak jauh |
Beban di pundak sudah lebih ringan dibanding kemarin karena Adul memindahkan beberapa barangku ke tas kerilnya.
“Gak papa mbak, biar kita jalannya lebih cepat.”
Pada kenyataannya kecepatanku turun gunung tetap kalah dengan Adul. Kakiku yang mulai terasa pegal menyebabkan gerakan langkahku mulai melambat sejak tiba di pos 3.
Jalur pendakian Tambora yang didominasi hutan basah |
“Dul, ntar makan siang di pos 2
yak”, kataku mewakili perut yang mulai frustasi.
“Siap, mbak”, jawabnya.
Sampai di pos 2 kami segera memasak mie instant yang tersisa. Nikmat sekali rasanya makan mie saat perut kosong karena pas sarapan aku hanya makan sedikit. (Salahe sopo, Nduk? Wkwk)
“Siap, mbak”, jawabnya.
Sampai di pos 2 kami segera memasak mie instant yang tersisa. Nikmat sekali rasanya makan mie saat perut kosong karena pas sarapan aku hanya makan sedikit. (Salahe sopo, Nduk? Wkwk)
Istirahat di Pos |
Sampai di pos 1 kami istirahat
sejenak. Adul terus memotivasi ku agar tetap semangat. Tapi, apa daya,
dengkulku sudah berontak. Akhirnya dengan perjuangan sisa-sisa tenaga aku
sampai di Kampung Bali jam 5 sore. Itu pun kerilku sudah dibawakan Adul selama
30 menit menjelang tempat tujuan.
Kata Adul, “ Gak tega liat wajah mbak Uut udah mengkerut begitu.”
Kata Adul, “ Gak tega liat wajah mbak Uut udah mengkerut begitu.”
Kecurigaanku terbukti setelah
kami sampai di BC pak Syaiful menjelang maghrib. Akhirnya Adul bercerita bahwa
sebenarnya dia susah tidur selama di campsite, terutama saat di bibir kaldera.
Dia juga merasakan aura lain di beberapa pos di Tambora.
“Oh, begitu tah? Pantesan...”, kataku terkejut mendengar penuturannya.
“Oh, begitu tah? Pantesan...”, kataku terkejut mendengar penuturannya.
Perjalanan sarat makna dari
Tambora. Puji syukur kepada Alloh SWT Sang Pemberi Kehidupan, dengan KuasaNYA
kami bisa selamat kembali kerumah masing-masing setelah mengalami hal yang di luar
prediksi. Terima kasih semesta, engkau mengajari ku banyak hal. Bahwa kita
hanyalah butiran debu di alam raya yang sangat luas. Boleh jadi kita sanggup melangkahkan kaki sampai di tanah tertinggi, lalu sanggupkah kita meletakkan hati di titik terendah? Semangat belajar, Nduk!
NOTED:
Durasi pendakian kami (2 orang,
terhitung dengan waktu istirahat, masak, makan, dll) sebagai berikut:
Ojek BC – Pintu Rimba = 40menit (naik lewat jalur baru, Dompu)
Pintu Rimba – Pos 1 = 3,5 jam (nyasar)
Pos 1 – Pos 2 = 1 jam 45 menit
Pos 2 – Pos 3 = 2 jam
Pos 3 – Pos 4 = 1 jam
Pos 4 – Pos 5 = 1 jam
Pos 5 – Bibir kaldera = 2,5 jam
Bibir kaldera – puncak = 15 menit
Bibir kaldera – kampung bali = 8
jam (turun lewat jalur Portal, Bima)
Sebenarnya dari BC Pancasila ada
2 jalur menuju Pos 1 yaitu lewat jalur baru (wilayah Dompu) yang lebih
jauh,seperti arahan pak saiful pada kami dan jalur portal/jalur lama (wilayah
Bima) yang lebih dekat. Info tersebut kami ketahui setelah kami menyelesaikan
pendakian.