Jumat, 21 Juli 2017

Pendakian Gn.Merapi 2930 mdpl


Plang Merapi 2930 mdpl

Gunung Merapi termasuk gunung berapi yang masih aktif di Pulau Jawa. Gunung ini terakhir meletus pada tahun 2010 yang juga menewaskan sang Juru Kunci, Mbah Maridjan. Sebelum letusan tahun 2010, Merapi terkenal dengan Puncak Garuda. Akibat letusan itu puncak Garuda telah hilang. Yang tersisa sekarang adalah sebuah batu yang menjulang tinggi dan seorang pendaki asal Jogja (Alm. Eri Yunanto) tahun 2015 terpeleset dan jatuh ke kawah dari lokasi yang dinamakan Puncak tusuk gigi tersebut.
Aku bergabung dalam pendakian Merapi yang diprakarsai oleh Bang Ponco and the geng. Kebetulan juga dalam rombongan bang Ponco terdapat dua kawan yang pernah mendaki Semeru bersamaku yaitu Irma dan Arum. Anggota dalam pendakian Merapi ini yaitu Bang Ponco, Bang Bibir, Bang Kampleng, Ike, Bang Metthew, Arum, Irma, adiknya Irma dan aku. Mereka bersembilan pada hari Sabtu pagi telah mendaki Andong tanpa ngecamp alias tektok.


Sabtu-Ahad, 15-16 April 2017

Aku sudah mengabari bang Ponco bahwa aku akan menunggu di pertigaan Keteb. Bang Ponco, dkk berangkat menuju Keteb dari BC Andong, sedangkan aku berangkat dari rumah di Nanggulan naik motor. Aku bersama adek otw sehabis sholat Ashar. Ternyata mereka yang duluan sampai di Keteb dan harus menungguku. Aku terjebak macet saat hampir sampai di Pertigaan Keteb. Aku bertemu dengan rekan-rekan di pertigaan Keteb yaitu jam 17.10 WIB. Mobil yang disewa rombongan Tangerang+Sukabumi sudah berisikan 9 orang plus driver. Awalnya agak gak enak juga mau ikut mobil mereka, karena nanti di mobil semakin berdesakan oleh manusia. Tapi agar efektif akhirnya aku masuk dan ikut mobil sampai di basecamp. Jam 17.30 WIB setelah packing ulang tas keril di mobil, akhirnya kami berangkat menuju BC Barameru.

Mepo di pertigaan Keteb

Hari sudah malam saat kami mampir membeli logistik di sebuah toko dekat BC. Jam 19.00 WIB kami tiba di BC Barameru dan salah satu rekan mendatangi pos registrasi dan mengurus simaksi pendakian kami. Simaksi saat weekend sebesar Rp 18.500,- untuk pendakian 2 hari 1 malam per orang. Basecamp Barameru terletak di Selo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Dari BC kami harus berjalan kaki melewati aspal yang menanjak untuk sampai di NEWSELO. Di sana terdapat beberapa mobil yang parkir untuk mengantar pendaki yang naik Merapi. Warung-warung berjajar menghadap ke arah Merbabu, yang jika cuaca cerah maka akan tampak pemandangan yang indah gunung Merbabu. Sebelum mendaki kami makan malam di salah satu warung. Kami juga menitipkan baju bersih yang tidak terpakai saat di Merapi kepada ibu pemilik warung tsb. Perut telah diisi dan kami siap untuk start ngetrek. Kami mulai berjalan meninggalkan warung jam 20.00 WIB.
Jalan paving(cor-semen) mengawali perjalanan malam kami. Etape dari Newselo ke gerbang pendakian Merapi didominasi ladang penduduk di sebelah kanan dengan track yang cukup menanjak sebagai starting point. Aku yang menjadikan pendakian kali ini sebagai ajang pemanasan sebelum berangkat ke Rinjani, telah berkeyakinan dalam hati bahwa tidak akan jalan santai seperti keong. Saat menjumpai jalan setapak yang mulai bertambah kemiringannya dibanding jalan paving ternyata nafasku sudah tersengal-sengal. Jalanku mulai melambat hingga sampai di Gerbang Pendakian. Kami semua break agak lama di sana. Hawa kantuk mulai menyerang. Tubuhpun mulai kedinginan karena terlalu lama berdiam diri. Akhirnya salah satu rekan berkata “Yuk, lanjut lagi, udah dingin.”
Kami segera berjalan kembali menuju pos 1. Trek tetap menanjak tanpa bonus. Aku yang merasa sudah lemas, segera memakan coki-coki yang telah kusiapkan di kantong kerilku. Perjalanan di malam hari membuat paru-paru bekerja lebih ekstra karena oksigen yang kita hirup lebih sedikit. Walau begitu, perjalanan malam membuat kita fokus untuk sampai tujuan karena sekitar kita gelap dan jarang bisa mengeksplorasi pemandangan  alam. Baterai handphone menjadi awet.
Di perjalanan menuju pos 1, kami bertemu percabangan jalur dan kami dengan santainya ambil jalur sebelah kanan. Jam 22.30 WIB kami sampai di pos 1 dan istirahat di shelter sembari menunggu teman yang masih di belakang kami. Malam itu banyak pendaki yang naik Merapi. Tak dapat dipungkiri bahwa mendaki saat longweekend pasti akan menjumpai antrian di trek. Saat melihat ada pendaki yang muncul dari arah bawah-samping batu besar yang dekat dengan pos 1 barulah kusadari sesuatu. Dulu, saat mendaki Merapi pertama kali di tahun 2013 aku melewati jalur yang sama dengan pendaki tersebut. Jalur ke arah kanan akan membawa kita menuju pos 1 dalam waktu yang relatif singkat tetapi medan yang lebih terjal dan cukup menyiksa. Sedangkan jalur ke arah kiri juga didominasi tanjakan terjal dengan beberapa titik berupa tanah landai yang agak memutar. Tahun 2013 aku dan rombongan mengambil jalur kiri sedangkan saat aku bersama bang Ponco and the geng, kami memilih jalur sebelah kanan. Beberapa saat kemudian rekan kami sudah sampai.
Gue udah gak kuat kalo harus lanjut ke pos 2. Kita ngecamp sini aja “ ujar salah satu rekan
Berdasarkan mufakat, maka kami sepakat ngecamp di Pos 1 karena ada teman yang kelelahan akibat paginya tektok Andong. Di area pos 1 terdapat lapak yang bisa menampung 2 buah tenda. Karena kondisi rekan sudah letih dan ngantuk kami hanya mendirikan 1 buah tenda saja. Jam 23.30 WIB kami segera beristirahat. Yang tidur di dalam tenda adalah 4 orang cewek dan 1 cowok. Sedangkan 3 cowok lainnya tidur di teras tenda dan di luar tenda.
Ada SB gak?” tanya bang Ponco yang akan tidur di luar.
“Bang Ponco gak ada SB?”
Gak ada, mbak. Punya saya dipakai Ike.”
Yaudah, nih pakai aja. Ntar aku barengan sama Arum” kataku. Malam itu Ike terbangun karena mengeluh ngilu. Segera kami berikan minyak kayu putih padanya. Arum dan Bang Mett dengan cepat merespon keluhan Ike dan merawatnya.
Subuh kami bangun, sholat dan mulai memasak air panas. Tiga orang cewek keluar tenda dan membangunkan rekan yang tidur di luar dan segera menyuruh mereka masuk ke tenda.
Bang....masuk tenda gih..!Gantian... Kami mau masak,” kataku.
Aku, Arum, dan Irma bagi tugas untuk memasak. Aku memasak nasi, Irma meracik untuk sayur sop dan Arum meracik untuk tempe tepung-goreng.
Tak berapa lama bang Metthew muncul dan membantu kami memasak. Membantu dan bikin rusuh itu beda tipis.hahaha.

Gunung Sumbing, Sindoro tampak dari pos 1

Pos 1, lapak tenda kami


Sarapan telah siap. Kami membangunkan Ike, Bang Ponco, Bang Kampleng dan bang Bibir. Ike segera kami suguhi minuman hangat.
Minum dulu, Ike, biar badannya enak.”
Setelah selesai sarapan, kami packing untuk summit attack. Bang Mett yang sebelumnya sudah pernah muncak ke Merapi memutuskan tidak ikut bersama kami.
Gue gak ikut ya. Udah pernah sih. Gue jaga tenda aja.”
Yakin bang Mett, gak ikut? Kalo gitu ntar kita turun summit udah ada makan siang dong ya...” balas kami.
Iya deh, diusahakan, kalo bisa gue masakin, kalo gak ya udah, gue gak masak.” jawabnya pasrah.
Jam 8 pagi kami mulai start summit attack. Untuk mencapai puncak tentu dibutuhkan waktu yang lebih lama karena titik awal kami adalah pos 1. Aku sampai di Pasar Bubrah jam 10.30 WIB
Dari sekian etape menuju puncak Merapi, pos 1 ke pos 2 merupakan salah satu etape yang berat. Medan yang harus kami lalui berupa trek terjal bebatuan. Sepanjang jalur menuju pos 2 kaki dipaksa melangkah melewati batu cadas. Pemandangan Merbabu nan gagah di sebelah kanan membuat Aku, Arum dan Irma sering berhenti untuk mengabadikan moment. Saat mereka sibuk berfoto aku lantas mengatur nafasku yang sudah engap. Pagi yang cerah dengan pundak yang santai tanpa beban membuat kami berjalan dengan cepat. Saat bebatuan mulai habis itu berarti Pos 2 semakin dekat. Pos 2 merupakan salah satu spot mendirikan tenda. Tanah lumayan datar dan luas, serta masih terdapat vegetasi untuk berlindung dari terpaan angin.

View Merbabu dari atas pos 1


Medan Menuju Pos 2



Bebatuan semua


Menjelang pos 2 tampak puncak Merapi sangat dekat


Sampai di pos 2 kami beristirahat sambil menunggu rekan yang masih di belakang. Duduk menikmati semilir angin sembari ngobrol dengan 2 orang pendaki asal Bekasi membuat kami tertawa terbahak-bahak. Mereka membuat teh untuk diminum bersama-sama. Satu gelas telah siap dan ditawarkan kepada kami semua.
Ayo, bang,,, mbak,,, silakan diminum tehnya.”
Irma, Arum, Bang Bibir secara bergantian meminum teh tersebut.
Mbak uut, nih...” kata Irma menyodorkan gelas itu padaku
Enggak deh, Mut...” kataku. Entah kenapa saat itu aku tidak mau minum teh tersebut. Padahal Aku termasuk penyuka minum teh di ketinggian. Wkwkwkwk.
Gelas itu pun segera kembali ke tangan empunya. Lantas dia minum dan berkomentar.
Kog rasanya ada yang kurang ya?” pikirnya
Kami semua terkejut dan penasaran. “Emang kenapa Bang? Enak kog.”
Tiba-tiba pendaki asal Bekasi yang satu lagi nyeletuk,  “Duh,,,gue lupa. Tadi tehnya belum di kasi gula.”
Temannya terkejut dan berkata, “Wah,,lu gimana sih...Tanggungjawab!”
“Yaudah sih,,,bikinin yang baru,,,pake gula tapi jangan lupa.”
Sontak kami semua tergelak menyadari bahwa walaupun teh tanpa gula, tetapi tetap terasa nikmat.
Kalian gak nyadar apa, itu gak manis?” tanyaku
Enggak mbak,,,enak sih. Apa karena lagi haus ya,,sampe gak nyadar gitu.” jawab mereka.
Teh yang benar pun kemudian Aku yang pertama mencicipi. “Ini baru teh manis. Ha....”
Setelah berbincang cukup lama dan tidak nyaman melihat sebelahku duduk memasak mie instant, aku bertanya pada Bang Bibir, “Gimana kalo kita nunggu mereka sambil jalan lagi?
“Mau jalan nih? Hayuk lah...” jawabnya.
Bang duluan ya,,” Kami pun berpamitan dengan pendaki asal pendaki dan juga pendaki yang sedang memasak mie.
 Sampai di watu gajah kami berhenti sejenak untuk beristirahat. Di area watu gajah banyak monyet berkeliaran. Beberapa terlihat mendekati tenda untuk mencari sisa makanan dari pendaki. Ada juga monyet yang sedang bergelantungan di pohon.
“Bang Ponco, Ike, Bang Kampleng belum kelihatan nih... mau lanjut?”
“Lanjut aja, kita tunggu di Pasar Bubrah”
Kami pun segera menuju titik terakhir sebelum puncak Merapi. Meninggalkan Watu gajah kami merasakan hawa panas kian menyengat. Jam 10 pagi kala itu dan matahari tengah membagikan sinarnya pada penduduk bumi. Pasar Bubrah cukup ramai. Pasar bubrah di Merapi ibarat alun-alun karena area tersebut berupa tanah datar tanpa vegetasi yang dipenuhi oleh bongkahan batu-batu material vulkanik berbagai ukuran. Ada yang jumbo, ukuran sedang dan ukuran kecil layaknya kerikil. Beberapa tenda tampak dibangun dekat dengan batu yang sangat besar di area itu. Kami semua duduk beristirahat dan menikmati suasana Pasar Bubrah. Banyak pendaki yang berfoto bersama di papan penanda yang bertuliskan “Pasar Bubrah”. Tak terkecuali kami semua. Selesai berfoto ria di sana, akhirnya sampai juga Ike, Bang Ponco dan Bang Kampleng di Pasar Bubrah. Walaupun panas kian menyengat kami tetap semangat untuk antri foto bersama fullteam (tanpa bang Mett). Kabut yang datang menutup Puncak Merapi kala itu membuat kami sempat was-was. Setelah yakin di puncak akan cerah maka kami semua memantapkan hati untuk menggapai Puncak Merapi.

Fokusnya berantakan

Pasar Bubrah (fullteam)

Bareng gadis Sukabumi

Belakang kami udah Puncak Merapi



Jam 11.30 WIB kami semua berjalan beriringan menuju Puncak Merapi. Sampai di papan peringatan “STOP!! Berhenti di Sini. Batas Aman Pendakian” aku berhenti sejenak dan berdoa agar kami serombongan selamat sampai turun kembali ke BC. Sebenarnya pihak pengelola sudah memberikan rambu-rambu yang seharusnya dipatuhi oleh para pendaki bahwa pendakian Merapi hanya sampai di Pasar Bubrah. Tapi apalah daya, karena pengaruh ego yang kuat dari kami, peringatan tersebut seolah tidak terlihat. “Udah jauh-jauh sampai sini, masak gak muncak?Yang penting tetap keep safety dan cuaca mendukung” begitulah salah satu kalimat pembenaran dari kami.
Jalur melipir ke kiri dulu baru naik

Puncak tertutup kabut

Medan pasir saat melipir

Tampak Pasar Bubrah jika difoto dari atas


Mulai dari titik ini terlihat jejak kaki para pendaki yang berjalan melipir ke arah kiri naik lalu belok kanan dan mulai lurus naik untuk mencapai bibir kawah Merapi. Berjalan pada medan berpasir yang penuh kerikil cukup menyulitkanku. Trek pasir halus itu menyebabkan langkah kakiku terasa berat. Beberapa kali tubuhku oleng karena tangan tak mempunyai pegangan. Perlahan tapi pasti akhirnya kami bisa melalui trek pasir dan selanjutnya telah membentang bebatuan yang cukup rapuh yang bisa menggelinding kalau kita salah ambil pijakan.

Mendekati puncak Merapi

Setapak demi setapak dengan sangat berhati-hati aku memilih batu tempat berpijak. Sambil terus berdoa, aku ajak tanganku bekerja sama untuk menopang keseimbangan tubuh saat di track. Arum terlihat sangat gesit mengejar Puncak Merapi. Aku sesekali menengok ke belakang dan terlihat beberapa pendaki yang tengah berjuang sepertiku. Jalur bebatuan yang aku pilih ternyata terlalu ke kiri dan tak kusadari hal itu sangat berbahaya. Aku hanya mengikuti 2 orang pendaki yang berada di jalur tersebut. Saat mendekati puncak kulihat dua pendaki itu merayap di tanah. Aku mengumpat dalam hati saat aku merasakan jalur itu langsung. “Arrghhh...susah sekali ini” kataku. Saat itu aku melihat Arum sudah melambai-lambai ke arahku.
Mbak ut,  jangan lewat situ. Berbahaya. Lewat situ aja,” katanya sambil menunjuk ke arah sisi kananku yang notabene cukup jauh.
Susah, Arum,,,gimana ini?” ujarku panik. Padahal bibir kawah tinggal 8 meter dari posisiku saat itu. Aku masih berusaha merayap saat kakiku malah terpeleset. Terlihat bang Bibir sudah sampai di dekat Arum.
“Bang Bibir,,itu mbak Ut gimana?” berusaha mencari solusi untukku.
Bang,,aku serius ini,,gak lagi becanda.” teriakku pada Bang Bibir.
Iya, Mbak...saya juga serius, kalo gak serius mana ada saya tolongin.” Katanya sembari mendekat ke arahku. Dengan bantuan Bang Bibir aku berhasil sampai di bibir kawah.
“Makasih, bang.” Kataku penuh malu.
Aku pun segera mengucap rasa syukur kepada Sang Pencipta. Duh, rasanya tadi itu pokoknya gak karuan. Etape Pasar Bubrah menuju bibir kawah merupakan rute berat yang kala itu membuat jantungku berdetak tak karuan akibat salah pilih jalur.

Puncak Tusuk Gigi (yang belakang jauh?)

Dasar Kawah Merapi

Still waiting you,,,, kata doi. wkwkwk

Saat aku berdiri di bibir kawah bau belerang dari arah kawah sangat menyengat. Pada musim hujan memang muncul asap belerang yang lebih banyak dibanding musim kemarau. Jangan lupa siapkan masker ataupun buff untuk meminimalisir masuknya gas belerang ke paru-paru kita. Kulihat waktu menunjukkan jam 12.30 WIB saat kami tiba di bibir kawah Merapi. Saat aku melihat ke bawah, dasar kawah Merapi tidak terlihat. Hal itu karena banyaknya asap yang keluar dari kawah sehingga membatasi pandangan mataku. Berbeda saat dulu aku mencapai titik ini pada bulan November 2013. Dasar dari kawah Merapi sangat terlihat jelas oleh mata telanjang. Cukup lama kami berada di area bibir kawah Merapi. Sembari menunggu Ike yang dikawal oleh bang kampleng menuju puncak, kami menghabiskan waktu untuk foto selfie. Segera setelah Ike dan bang Kampleng sampai, kami berfoto bersama di area puncak Merapi.
Fullteam,,Yeayy...

Kawahnya tertutup asap


Terima kasih gengs,,, 

Sekitar jam 2 siang kami segera turun menuju area camp karena takut kesorean. Turun menuju Pasar Bubrah sudah membuat kepalaku pening. Pening karena kepanasan. Kurasakan pipiku sudah mulai terbakar terik matahari. Seharusnya sebelum terpapar sinar matahari, area kulit yang terbuka diolesi sunblock terlebih dahulu. Aku dengan sangat fokus memilih batu pijakan yang kuat agar tidak terpeleset. Sampai di area pasir aku setengah berlari turun mengejar rekan yang sudah sampai di bawah. Menuruni trek pasir lebih mudah dari pada naik di trek pasir. Di area pasar bubrah aku sempat berhenti untuk foto berlatar Puncak Merapi yang terlihat begitu jelas tanpa terhalang kabut.

Terima kasih Merapi, kau tak pernah ingkar janji.. see you next time...

Saat aku berjalan bersama Imut sedangkan teman-teman bergegas menuju area camp, kami kehabisan air minum. Terpaksa kami berdua makan madu, maksudnya agar tenggorokan tidak begitu kering akibat kurangnya pasokan air ke dalam tubuh. Sepanjang trek aku dan Imut tertawa terpingkal-pingkal mengingat semua moment yang pernah kami lalui bersama. Moment di beberapa pendakian terakhir kami. Baru di Merapi ini aku bisa lepas tertawa di track bersama rekan pendakian. Biasanya lebih banyak diam karena saking lelahnya. Mungkin karena sama-sama cewek dan berdua saja, jadi kalau menggosipkan sesuatu pasti sinyal kami tersambung dengan lancar dan cepat bagaikan sinyal 4G. Sekitar jam 4 sore aku dan Imut menjadi orang terakhir yang sampai di Pos 1. Kami beristirahat sebentar dan berbincang dengan bang Mett. Ternyata dia sudah menyiapkan makan untuk kami semua. Ada puding, lauk, nasi sisa semalam, yang kurang hanya sayur saja. Katanya dia tidak bisa masak sayur asem. Padahal kami sudah meracik bahan sayur asem, tinggal dimasak saja. Karena hari semakin sore, kami makan apa adanya saja. Lauk kering tempe menjadi menu utama kami. Beberapa rekan ternyata masih lapar sehingga kami memasak mie instant dan bihun sebelum bongkar tenda. Kami makan bersama di gazebo pos 2. Semburat langit orange muncul di ufuk barat. Indah sekali sunset di pos 2.
Warna Senja di Merapi


Makan Bersama di Pos 2

Saat kami packing hari mulai beranjak malam. Kami mulai otw turun menuju NewSelo jam 18.30 WIB. Sayangnya saat perjalanan malam hari, headlamp kami ada yang mati. Mau tidak mau kami harus berjalan beriringan dan rapat karena tidak semua anggota memakai headlamp. Beberapa dari kami terpeleset di jalur karena hari sudah malam, fokus mulai berkurang drastis. Bisa jadi karena perut sudah mulai lapar lagi. Perjalanan terasa jauh. Kami harus bekerja sama saling menyinari agar rekan yang tidak memakai headlamp dapat melangkah dengan benar. Sampai di jalur paving kami mulai agak terpencar. Kami mendapat bantuan cahaya dari rembulan sehingga beberapa yang sudah lelah berjalan agak cepat. Saat kami tiba di warung ternyata warung yang kami titipi baju sudah tutup. Dengan dibantu pemilik warung sebelah, tak berapa lama kemudian, datang seorang pemuda yang membawa kunci dan membukakan warung tsb untuk kami. Arum segera mengambil kantong baju kami bersama. Dia juga berusaha membangunkan bang Bibir dan memberitahunya agar mengambil baju yang dia titipkan juga. Tetap saja bang Bibir tak beranjak dari bangku panjang tempat dia tidur.
Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Saat kami semua tiba di Temanggung, rumah salah satu karib-nya Bang Ponco and the geng, barulah diketahui bahwa ada baju yang tertinggal di warung Newselo. Baju bersih kepunyaan bang Bibir tertinggal di sana. Ada miskomunikasi di antara kami sehingga titipan bang Bibir terabaikan. Setelah sedikit berdebat akhirnya Bang Bibir sudah pasrah akan kejadian tsb. Akhirnya aku tidur jam 03.30 WIB setelah sempat ngrumpi asik bersama Irma.

"Aku senang berkumpul dengan orang-orang yang patah hati. Mereka tak banyak bicara. Mereka jujur dan berbahaya.Mereka pun tahu apa yang mereka cari. Mereka tahu dari diri mereka ada yang telah dicuri" (M.Aan Mansyur dengan sedikit gubahan).


Gegara beginian jadilah ketinggalan kereta ke Jakarta. Hiks....


...................to be continued...................... 

“Keseruan Main Air di Curug Hingga Harus Ketinggalan Kereta”     ^_*

Minggu, 16 Juli 2017

KISAH KLASIK TAHTA MAHAMERU



MAHAMERU merupakan nama puncak dari gunung Semeru dengan ketinggian 3676 mdpl. Gunung Semeru terletak di dua kabupaten yaitu Kabupaten Malang dan Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Gunung Semeru adalah gunung jenis stratovolcano aktif yang berada di dalam kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS).

Miss u Bang Baron....

Aku tertarik mendaki gunung Semeru setelah membaca novel “Tahta Mahameru” karya Azzura Dayana, novel “5 cm” karya Donny Dhirgantoro serta menonton film “5cm” yang sempat hits pada masa itu. Betapa media audio visual sangat memberi efek yang besar untuk mempengaruhi penonton. Pada tahun 2015 sekitar bulan September aku mendapat ajakan dari sahabat untuk ikut pendakian ke gunung Semeru. Akibat tidak mendapat restu orangtua karena alasan pekerjaan yang tidak boleh ditinggal, maka aku simpan saja impianku.
Pada tahun 2016 aku menemukan sebuah opentrip Semeru dari medsos. Iseng-iseng aku menggali informasi tentang trip tersebut. Terbilang cukup murah, sehingga aku sangat berminat untuk bergabung. Akhirnya aku mendaftarkan diri ikut trip “Pendakian Gunung Semeru” dengan mengajak salah satu rekan dari Bogor yaitu Bang Irul.
Singkat cerita aku dan bang irul tergabung dalam tim 3 open trip Semeru bersama @kaina.sahabatperjalanan (endorse...wkwkw). Awalnya anggota tim 3 berjumlah 10 orang yaitu Bang Baron sebagai kepala suku, Aldi, Adit, Rudi, Indri, Rifqi, Kus, Ekky, Bang Irul dan aku. Tapi, pada akhirnya yang bisa berangkat pada hari H hanyalah 7 orang minus Bang Baron, Rifky, dan Indri. Pelaksanaan trip dimulai dari tanggal 12 Agustus dan berakhir 17 Agustus 2016. Perjalanan sempat diwarnai rasa cemas karena Kepsek lumayan protektif kalo ada anak buah yang izin tanpa alasan yang berarti. Untungnya dewi fortuna masih menaungiku walau pada akhirnya aku harus absen dari mengajar selama 4 hari (jangan ditiru guys...)

12 Agustus 2016

Sesuai itinnerary dari panitia, aku berangkat dari Bogor jam 12.30 WIB menuju St.Pasar Senen karena KA Matarmaja berangkat jam 15.15 WIB. Saat itu aku hanya masuk kerja setengah hari saja.  Perjalanan dari Jakarta menuju Malang membutuhkan waktu sekitar 16 jam. Peserta total yang berpartisipasi dalam trip ini sekitar 33 orang dan dibagi ke dalam 4 tim.


Suasana di gerbong begitu ricuh


13 Agustus 2016

Setelah cukup lama duduk di dalam kereta, jam 08.00 WIB kami sampai di St.Malang Baru.

Para Pencari Angkot

Perjalanan berlanjut menuju Basecamp di Tumpang dengan angkot yang telah disewa, yang banyak berjajar di seberang stasiun. Sejam kemudian kami sudah berada di Basecamp Pakdhe. Setelah istirahat sejenak, perwakilan dari tiap tim berangkat menuju pasar untuk melengkapi logistik masing-masing tim. Kami sudah terlalu siang tiba di pasar, sehingga ada list logistik yang tidak tersedia. Tak jadi masalah buat kami, karena masih ada bahan lain yang bisa saling menggantikan. Sekembalinya kami dari belanja, kami langsung packing ulang agar semua logistik yang sudah dibeli bisa masuk ke dalam tas keril. Aku mendapat perlakuan istimewa, sebagai srikandhi satu-satunya di tim 3 aku hanya membawa perlengkapan pribadi saja di tas keril kepunyaan Bang Irul. Keenam lelaki lah yang bertugas membawa perlengkapan tim seperti tenda, alat masak, kompor, gas hi-cook, sayur mayur, dan logistik lainnya.

Squad Semeru part 1 Kaina

Dari  BC kami naik jeep menuju Ranupane. Kami harus mampir ke puskesmas setempat untuk membuat surat sehat yang baru. Kami sudah membawa surat sehat dari kota masing-masing dan ternyata dianggap tidak sah. Perjalanan ke Ranupane membutuhkan waktu sekitar 2 jam dengan nuansa pegunungan yang bebas polutan dan bentang alam yang sangat indah. Kontur jalan yang berliku dan menanjak memacu adrenalin kami yang berada di jeep.
Numpang selfie di tengah perjalanan menuju Ranupane

Mampir puskesmas setempat dahulu

Desa Ranupane yang masuk wilayah kecamatan Senduro, kabupaten Lumajang, merupakan gerbang untuk mulai mendaki Gunung Semeru. Sebelum mendaki kami melakukan registrasi di Pos Resort TNBTS dan juga mengikuti briefing dari Saver Semeru. Saat itu kami harus antri untuk ikut briefing karena begitu ramainya pendaki yang akan ke Semeru. Saat briefing kami dijelaskan tentang apa-apa yang tidak boleh dilakukan selama berada di gunung Semeru. Hujan yang mengiringi penjelasan dari saver semeru membuat beberapa dari kami mengantuk dan kena tegur dari pihak pengelola. Hari mulai petang saat kami telah selesai ikut briefing. Setelah sholat isya, sekitar jam 19.30 WIB kami mulai berjalan meninggalkan Ranupane. Kami semua mengenakan mantel karena hujan masih enggan berhenti. Pendakian Semeru ini melalui Waturejeng, jalur konvensional selain jalur Ayek-ayek.

 Saat sampai di pos 2 yaitu jam 21.00 WIB tim 1, tim 2, tim 3 dan tim 4 semua menghentikan perjalanan dan beristirahat di sana. Kondisi hujan deras yang tak kunjung berhenti memaksa kami semua harus menunggu. Pos 2 tak kuasa menampung banyaknya pendaki yang berusaha berteduh. Menit demi menit berlalu, tak ada pendaki yang beranjak dari pos 2 kala itu. Hujan semakin deras dan tebing dekat pos 2 pun longsor. Agar pos 2 mampu menampung lebih banyak pendaki, beberapa dari kami bekerja sama dengan pendaki kelompok lain untuk memasang flysheet. Semua keril kami kumpulkan jadi satu dan diamankan dengan ditutup menggunakan flysheet di bawah pohon samping pos 2. Kami semua meringkuk di pos 2, di area depan pos 2 dengan beratapkan flysheet. Ada pendaki lain yang berada di dalam pos 2 terkena hypotermia dan ditangani oleh rekan mereka. Kami semua kedinginan karena sepatu, baju sudah basah semua. Sempat pula kami menyalakan kompor untuk membuat minuman agar badan tetap hangat. Sudah diputuskan bahwa kami semua harus menunggu pagi untuk melanjutnya perjalanan. Malam terasa begitu panjang. Hujan deras tetap setia menemani malam kami. Masing-masing dari kami mencari lapak untuk sekedar duduk. Bagi yang tidak memungkinkan untuk duduk, hanya bisa pasrah dengan berjongkok dan merapatkan badan kepada rekan di samping kanan-kiri, depan-belakang. Aku yakin, sepanjang malam, rekan-rekan terus berdoa agar semua baik-baik saja. Bayangkan saja, kami semua menggigil, rebahan pun tak bisa karena tanah sudah pasti basah oleh air hujan. Berusaha memejamkan mata, tapi sungguh sulit karena posisi badan yang tidak nyaman. Aku sendiri ingat bahwa depanku adalah Rangga rekan dari tim 1. Samping kanan kiri dan belakang kuyakini sebagai rekan dalam tim kaina. Situasi dan kondisi saat itu memaksa kami harus saling bersandar agar bisa tidur walau sebentar saja. Aku bersandar pada rekan di sebelah kiriku. Dia sering sekali bergerak, otomatis akupun ikut bergerak. Masak iya, dia bergerak “ngulet-ngulet” aku tetap nyender??? Itu mah namanya gak peka..haha. Saat itu hanya bibir yang senantiasa berdzikir diantara suara gemerutuk rahang yang berusaha melawan hawa dingin. Semakin badan dirapatkan ke badan yang lain maka akan terasa lebih hangat. Hal itu membuat kaki terasa gampang kesemutan karena aliran darah tidak lancar. Masing-masing dari kami mensupport diri sendiri dan juga tetangga sebelah. Tak terhitung berapa kali aku membuka mata dan ternyata hujan belum berhenti. Aku mengamati sekitar. Ada mas-mas yang selalu terjaga untuk membuang air yang sudah menggenang di atas flysheet, ada rekan yang tak bisa tidur karena dia berada di area terluar dari flysheet sehingga sering kena cipratan air hujan sepanjang malam, ada yang kelihatannya tidur pulas tapi entah, mungkin dia juga merasa pegal karena tak bisa bergerak akibat terhimpit badan tetangga. Sampai suara kicauan burung mulai ramai, sinar matahari mulai muncul, sebagian dari kami mulai beranjak dari lapak masing-masing untuk buang air kecil.

Beginilah cara kami tidur selama berada di Pos 2
Pagi hari saat masih hujan



Masih mager

13 Agustus 2016

Pagi datang, gerimis masih menemani kami saat mengecek tas keril dan bersiap untuk menuju Ranu Kumbolo (Rakum). Mayoritas bagian luar dari tas kami basah. Untunglah saat packing, di dalam tas telah dipasang trash bag untuk melindungi barang dan baju ganti. Cuaca di gunung memang sukar untuk di prediksi. Walaupun saat itu bulan Agustus, nyatanya kami tetap terkena hujan di track. Betapa pentingnya persiapan alat yang memadai guna mengantisipasi hal-hal di luar kendali manusia. Ke manapun kita pergi tetap safety first ya. Kegiatan di alam bebas memang penuh dengan resiko. Jangan sampai menyepelekan hal-hal kecil, karena kita tak kan bisa melawan semesta. Atas kuasa Alloh, kami semua rombongan Kaina sehat ketika bangun pagi itu. Wajah yang kumal dan badan yang sudah tidak karuan rasanya tak melunturkan semangat kami untuk beraktivitas pagi itu. Sebagian dari kami bergerak duluan untuk menuju camp 1 di Rakum. Mereka adalah perwakilan tim yang membawa tenda. Sekitar 60% dari kelompok kami berjalan duluan. Sisanya membereskan flysheet dan menyiapkan sarapan. Saat kami memasak mie, aku baru sadar bahwa tetangga sebelah kiriku, yang kujadikan tempat bersandar ternyata adalah pendaki kelompok lain yang belum ku kenal. Betapa malunya diriku. Aku langsung meminta maaf padanya.
“Maaf ya mas, tak kira temen dari Kaina. Semalem gak keliatan wajahnya,,udah gelap...”
“Gak papa mbak,, tak pikir semalem, siapa ni orang ,,main nyender-nyender aja. Untung cewek mbak,,bukan cowok...” jawabnya.
Hahahahahaha... batinku. Ya sudahlah, aku juga tidak sengaja. Seperti ungkapan “Semua pendaki gunung itu bersaudara”. Anggap saja kejadian ini terjadi di antara sesama saudara.
Selesai sarapan, kami berjalan menuju camp 1 menyusul rekan kami yang sudah jalan duluan. Jalan setapak yang kami lalui masih cukup landai. Kami menemukan beberapa titik longsor akibat hujan semalam. Tak dapat dibayangkan, betapa berbahayanya kalo semalam kami ngotot untuk melanjutkan perjalanan. Ada 2 titik longsor yang sudah dipasang webbing. Webbing tersebut sangat membantu kami saat melewati longsoran tanah. Sebelum sampai di pos 3 kami menemukan papan informasi “Watu Rejeng”. Di situ kami sempat foto-foto, tapi aku gak ikutan. Wkwkwk...
Aku dan rombongan sampai di Rakum jam 13.00 WIB. Di area camp di depan danau, sudah berdiri tenda tim 3 sebanyak 2 buah. Perjalanan yang cukup melelahkan. Durasi normal dari Ranupane sampai Rakum yaitu 4-6 jam.

Wajah-wajah yang menganut paham "Badai pasti berlalu"

Tanpa Kabut

Aku lantas menata barang di salah satu tenda dan mulai memasak menu makan siang+malam. Beres memasak dan makan, aku segera ganti baju. Dari semalam di pos 2 belum ganti baju. Padahal sempat beberapa kali foto saat turun menuju Rakum.

Masak sayur Bayam

Selesai ganti baju aku bergegas menyusul para lelaki untuk menikmati suasana sore yang mempesona di Ranu Kumbolo. Saat matahari mulai tenggelam, cahaya yang terpantul di permukaan danau begitu mempesona. Kami tak lupa mengambil banyak foto bersama dengan latar bukit beserta danau ranu kumbolo.
Rakum

Rakum
Kabut lembut yang berteman dengan 2 insan


Candid, entah apa yang mereka lihat

Saat kembali ke tenda aku teringat untuk menulis salam di kertas untuk di foto di area Rakum. Kegiatanku ini ditemani banyak rekan. Alay, ya kan?Gak juga sih, cuma ya,,udah mainstream banget...
Dua orang sedang sibuk menulis ucapan.
Camp 1 di rakum ini, aku tidur di tenda tim2, srikandhi tim 2 ada 2 orang, sehingga aku dianjurkan tidur bersama mereka. Jadilah, aku sudah mapan di tenda tim 2 saat mereka masih sibuk makan malam. Tidurku sangat nyenyak. Tidurku saat itu untuk membayar tidur alakadarnya di pos 2.

15 Agustus 2016

Pagi hari setelah mengucapkan terima kasih aku kembali ke tenda tim 3 dan mulai memasak untuk sarapan. Kami memasak menu cepat saji, nutri jell, roti bakar, dsb.
Pas kami sedang sibuk-sibuknya memasak tiba-tiba ada yang nyeletuk, “Kopi gue mana?”
Aku yang kesal langsung ngomel-ngomel kepadanya. “Gak liat apa kita lagi sibuk?!. Bla..bla.bla....”
Beberapa rekan se-tim ku menanggapinya dengan santai. Maklum, aku ini tipekal orang yang gampang emosi tapi aslinya mah pemalu. Hihihi....
Menyiapkan sarapan

Menu bersama keempat tim

Makan bersama sebagai bagian dari jiwa Korsa

Selesai sarapan bersama kami packing dan segera menuju camp 2 yaitu Kalimati. Salah satu personel kami ada yang tidak ikut ke kalimati karena kelelahan. Hanya kami berenam (dari tim 3) yang melanjutkan perjalanan ke Kalimati dengan membawa 2 tenda saja. Dari Rakum sampai selanjutnya diputuskan bahwa ketua tim 3 yaitu Ekky menggantikan Aldi dan juga Bang Baron.
Meninggalkan Rakum kami harus melalui Tanjakan Cinta. Tanjakan cinta merupakan salah satu tanjakan terjal di Gunung Semeru. Saat melalui tanjakan ini aku sempat berhenti beberapa kali karena aku kehabisan nafas. Tanjakan ini menghubungkan Rakum dengan Oro-Oro Ombo. Ada mitos bahwa jika kita bisa berjalan melewati tanjakan cinta tanpa menoleh sekalipun ke arah belakang, dan memikirkan orang yang kita sayang maka cinta itu akan terjaga. Harap tenang, ini hanyalah mitos. Toh, yang namanya jodoh tetap ada di tangan Tuhan. Yakini saja...

Oro-oro Ombo

Etape selanjutnya yaitu Oro-Oro Ombo, yaitu lembah dengan padang rumput luas yang ditumbuhi Verbenna Brasiliensis Vell. Banyak yang menyangka jenis tumbuhan tersebut adalah Lavender, tapi sebenarnya adalah Verbenna. Verbenna ketika berbunga akan membuat Oro-Oro Ombo didominasi warna ungu yang sangat indah. Di balik keindahan Verbenna ini, ternyata bisa menjadi ancaman bagi lingkungan karena tumbuhan ini mampu menyerap air sangat banyak dan cepat membuat daerah sekitar menjadi kering. Oleh karena hal itu, pengelola TNBTS mengijinkan kalau ada yang ingin memetik Verbenna, dengan catatan, jangan sampai tercecer di area taman nasional karena malah menyebabkan penyebarannya semakin meluas.
Jalan datar di etape ini akan berakhir di Cemoro Kandang. Di titik ini ada penjual semangka dan juga gorengan. Banyak rekan kami yang membeli semangka. Segar rasanya menikmati semangka setelah berpanas-panas di jalur Oro-Oro Ombo.


View Oro-Oro Ombo dilihat dari pucuk tanjakan cinta

Menyantap Jelly bekal dari Rakum

Menunggu jatah Jelly

Suasana Cemoro Kandang

Penampakan sepatu tim 3

Dari Cemoro kandang, kami lanjut menuju Jambangan. Rute yang kami lalui adalah jalan setapak yang mulai menanjak disertai semak belukar. Di sana pun terdapat penjual semangka serta gorengan.

Pose bareng di Jambangan

Jambangan ke Kalimati dominan jalan berdebu. Kami sampai di Kalimati sekitar jam 13.00 WIB. Tempat camp terakhir sebelum summit ini merupakan area yang luas. Terdapat sumber air bernama Sumbermani yang katanya jauh dari area camp.

 Saat yang lain sedang ambil air di Sumbermani

Taken a picture

Masak bersama

Setelah 2 buah tenda telah berdiri, aku segera memasak. Menu kali ini adalah nasi, pecel, omelet mie+telur, dan bakwan. Beberapa rekan membantuku memasak. Rupanya tim 3 adalah tim yang paling terakhir selesai makan. Bagaimana tidak? Setelah selesai masak, kami membawa masakan kami semua ke spot terbaik di area kalimati untuk taken a picture. Kami harus hati-hati dalam melangkah karena di sana banyak ranjau. Puas berfoto bersama, barulah kami kembali ke tenda dan menyantap makanan yang sudah terlanjur dingin. Oleh panitia, kami semua diwajibkan tidur segera karena jam 12 malam harus bangun untuk summit attack. Jam 19.30 kami selesai menyiapkan perlengkapan untuk dibawa saat summit. Beberapa saat kemudian kami tertidur. Aku tidak bisa tidur. Beberapa kali terbangun karena hujan mengguyur Kalimati. Pihak TNBTS hanya merekomendasikan pendakian Semeru sampai Kalimati saja, karena aktivitas kawah Jonggring Saloka sering mengeluarkan gas beracun. Tapi kebanyakan pendaki ingin mencapai puncak, termasuk kami semua. Dengan memperhatikan arahan dari Guide Kaina yang telah berpengalaman, aku dan rekan lain bertekad untuk menggapai Mahameru.

16 Agustus 2016

Etape terberat dari pendakian Semeru yaitu jalur summit attack. Berdasarkan briefing dari saver Semeru kami diarahkan agar tidak melalui jalur Arcopodo karena dilihat dari rekam jejak pendaki sebelumnya, banyak yang tersesat dan jalur lumayan berbahaya. Kami summit attack lewat Cemoro Tunggal.
Jam 24.00 WIB aku membuka mata dan ternyata kompleks tenda sebelah masih sepi. Sepi karena di luar masih turun hujan. Beberapa menit kemudian rekanku setenda mulai menggeliat, dan kami semua saling mengingatkan agar segera siap-siap untuk summit. Aku bangun lalu membuat minuman hangat. Saat aku menyiapkan minuman, teman se-timku tengah sibuk membagi bekal roti dan air mineral untuk perjalanan menuju puncak. Setelah semua siap kami segera menuju titik kumpul sebelum summit attack dimulai. Untuk tim 3 telah dibentuk pasangan summit yaitu Adit-Rudi; Uut-Bang Irul; dan Kus-Ekky. Setelah berdoa dan pengarahan dari panitia selesai, jam 01.00 WIB kami berjalan sesuai pasangan masing-masing. Sampai di batas vegetasi kami masih sanggup menjaga ritme langkah. Sampai di Cemoro tunggal kami mulai terpencar. Dari pasanganku serta dari tim 3 aku pun terpisah. Jalur track merupakan pasir dan batuan yang rapuh. Hujan semalaman membuat pasir yang kami pijak menjadi lebih padat. Walau sudah agak padat, tetap saja saat aku naik 2 langkah aku harus rela mundur 1 langkah. Gaither yang dikenakan sangat membantu guna mencegah masuknya pasir saat summit attack. Walaupun aku berjalan sendirian, tak terlihat di mana Bang irul, maupun teman lainnya, aku tetap saja berkata pada diriku sendiri : Hanya butuh kaki yang lebih jauh melangkah; tangan yang berbuat lebih banyak; mata yang melihat lebih lama; leher yang lebih sering mendongak; tekad yang sekuat baja; dan mulut yang senantiasa berdoa. Trekking pole merupakan salah satu piranti penting untuk menunjang proses summit attack. Dengan bantuan alat tersebut, aku masih bisa menjaga keseimbangan saat mlorot di track pasir.
Di tengah perjalanan dengan nafas yang tersengal, aku mendengar ada suara seseorang yang memanggilku. Dan Tarra... Bang Irul terlihat menepi sambil menungguku. Ternyata dia tadi sudah duluan dan menungguku di atas. Akhirnya aku berjalan naik diiringi olehnya. Seringkali aku berhenti untuk mengatur nafas. Kadangkala juga minum untuk sekadar membasahi tenggorokan. Aku penasaran sekali, sudah jam berapakah sekarang? Sudah berapa lama kah aku berjalan untuk menuju puncak? Sayangnya bang Irul tidak memakai jam tangan. Sedangkan jam tanganku—jam tangan pinjaman dari teman kos, mati karena terkena hujan ketika di Pos 2. Saat aku berpapasan dengan pendaki lain yang tengah istirahat di track, aku bertanya “Jam berapa, mas?”
“Jam 4 mbak
 “Makasih, mas
“Lain kali bawa jam gadang aja mbak,” cetus bang Irul saat aku terlalu sering bertanya jam berapa sekarang pada setiap pendaki yang ku temui. “Ihh...bang Irul,,” sahutku.
Saat kakiku mulai lelah melangkah, bang Irul memberikan semangat. Tetap saja speed ku tak juga semakin bertambah. Kabut mulai muncul. Jarak pandang kami hanya mencapai 2 meter saja. Kuarahkan pandangan ke bawah, yang tadinya kerlap kerlip cahaya headlamp pendaki lain masih terlihat jelas, sekarang sudah tak nampak sama sekali. Aku hanya melihat bang Irul seorang di tengah kabut disertai angin yang menusuk hingga ke tulang. Perlahan kami berjalan di tengah kabut. Bang Irul terus berjalan di depan, berusaha mencari jalur yang benar menuju Mahameru. Aku hanya bisa pasrah mengikutinya. Sejam kemudian, bang Irul berteriak “Stop mbak, jangan lewat sini!”
“Lewat mana bang? Kita nyasar ya?” kataku panik.
“Balik mbak, melipir ke kiri. Depan jalan buntu, jurang.”
Aku segera mengikuti arahan bang Irul. Walau agak sulit, akhirnya berhasil melipir dan kembali ke jalur yang seharusnya. Tak lama kemudian aku sayup-sayup mendengar suara orang dari atas.
“Bang Irul,,denger deh,,,ada suara kan?”
“Ehh...iya mbak,berarti puncak udah deket. Ayo mbak, buruan!”
Dia semangat sekali dan berjalan cepat naik ke arah kanan. Aku tetap berjalan dengan santai. Santai, lha, sudah deket ini puncaknya.wkwkwkwk...
Akhirnya dengan sisa-sisa tenaga, aku sampai di puncak Mahameru. Di sana terlihat bang Dymas, bang Deri, bang Deddy, bang Ferdy dan bang Irul tengah duduk beristirahat. Kami semua berjabat tangan saling memberikan selamat atas berhasilnya sampai di puncak. Catatan waktuku tiba di puncak yaitu jam 05.15 WIB.
Saat sampai di puncak, seluruh rasa lelah dan keluh kesah sirna terhempas angin di Mahameru. Alhamdulillah, bisa menapakkan kaki di titik teringgi Pulau Jawa, 3676 mdpl. Saat sampai di puncak, betapa aku merasa sangat kecil. Bahwa kita memang tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan alam semesta ciptaan Alloh SWT. Saat itu puncak masih tertutup kabut. Sambi menunggu rekan yang lain sampai, aku duduk mengatur nafas dan merenungi perjalanan summit. Merasakan langsung betapa berbahayanya track menuju puncak,bahwa batu dari ukuran kecil maupun besar rawan menggelinding dari atas; terdapat jurang di sisi kanan dan kiri dari track menuju puncak, para pendaki diminta selalu waspada dan tetap fokus. Semua tenaga serta semangat harus dikerahkan agar kaki terus melangkah pada track pasir dengan kemiringan jalur yang cukup tajam.

Otw Mahameru
Beberapa saat kemudian rekan setim yaitu Adit dan Rudi tiba di puncak. Disusul teman-teman yang lain muncul satu demi satu di puncak. Berkali-kali aku bertanya pada diri sendiri “Di mana Kus dan Ekky? Kenapa belum sampai juga?” aku mendapat informasi bahwa Ekky dan Kus dalam perjalanan menuju puncak. Tak berapa lama muncullah Kus dan Ekky. Kami berempat menyambut mereka berdua dengan penuh semangat.
Sembari menunggu Kus dan Ekky istirahat, kami menyiapkan properti foto (kertas ucapan) masing-masing dan juga makan bekal roti yang dibawa dari Kalimati.
“Habis ini kita foto bareng ya,,,” ujarku penuh semangat.
Pada kenyataannya, susah sekali untuk foto group berenam saja. Akhirnya kami foto acak dengan rekan lain dari Kaina. Hanya ada beberapa foto khusus tim 3 di puncak Semeru. Sebaiknya memang kami membaur dengan yang lain, jangan hanya mengatasnamakan tim 3. Hehehehe. Semakin siang, lautan awan semakin terlihat jelas membentang luas tanpa batas. Desiran angin dan gemuruh letusan dari kawah berpadu menghasilkan melodi alam. Inilah alam yang menunjukkan Kuasa-NYA. Alam yang mengajarkan kepada kita tentang makna perjuangan dan kesabaran. Alam juga lah yang mampu mematahkan semua kesombongan manusia di muka bumi.









Jam 08.30 WIB kami semua bergegas turun. FYI lebih dari jam 10.00 semua pendaki tidak boleh berada di area Mahameru karena dikhawatirkan terkena gas beracun yang tertiup angin dari kawah Jonggring Saloka.

Pura-pura Candid

Istirahat sambil selfie
Medan berpasir menuju Mahameru


Saat turun dari Mahameru kami tidak boleh lengah, karena di sebelah kanan dari jalur terdapat area blank 75 yaitu jurang yang dalam di mana kalau kita tidak hati-hati bisa jadi kita jatuh ke sana. Pastikan agar jangan terburu-buru dalam melangkah turun dan tetaplah berada di jalur yang semestinya. Turun di track pasir memang sangat menyenangkan. Aku menggunakan tumitku sebagai tumpuan saat menuruni pasir yang gampang amblas. Sampai di Kelik (batas vegetasi antara hutan dengan medan berpasir menuju Mahameru) aku beristirahat bersama rekan lain yang sudah lebih dulu duduk di sana. Ada pendaki yang lewat sambil memberi tahu kami bahwa baru saja seorang pendaki menggelinding di track berpasir. “Terus gimana?”
“Sudah ada yang menolong. Tadi sempat pingsan”
Dan ternyata pendaki yang dimaksud adalah rekan kami, tim 3. Dia turun belakangan dan aku, Kus, Ekky, Rudi dan Bang Irul sudah duluan jalan. Rudi dan Bang Irul sudah sampai di Kalimati saat aku, Kus dan Ekky sepakat menunggu Adit di track
Setelah mengetahui Adit sudah dicek oleh Bang Arry yang natabene seorang TNI dan disimpulkan tidak ada luka yang membahayakan, kami lanjut turun menuju Kalimati. Jadilah kami turun bersama rombongan terakhir. Saat kami sampai di camp area, terlihat tim 1, 2, dan 4 tengah sibuk memasak. Kami segera menyuruh Adit masuk ke tenda dan istirahat. Kami memasak mie instant agar lebih menghemat waktu. Sehabis Dhuhur kami semua turun menuju Rakum. Menurut panitia, perjalanan turun gunung hari itu bablas sampai Desa Ranupane. Kami semua harus mengejar waktu agar malam itu juga kami serombongan bisa tiba di basecamp Pakde di Tumpang.

Otw menuju Ranu Kumbolo

Jangan mengambil apapun selain foto

Jam 16.00 WIB kami sampai di Rakum dan break selama 1 jam. Sebelum memulai perjalanan menuju Ranupane, aku mengajak beberapa teman untuk foto bersama di Rakum.


Adit sudah sehat kembali walau lecet di dahinya.







Jam 17.00 WIB perjalanan dilanjutkan lagi. Aku yang pergi ke toilet portable ditunggu oleh Adul, Kus dan beberapa rekan lainnya. Sebenarnya toilet tersebut tidak layak digunakan. Baunya benar-benar memabukkan. Bagi yang merasa jijik-an aku sarankan agar jangan pernah masuk ke toilet tersebut. Saat aku kembali hanya tersisa beberapa orang saja karena yang lain sudah jalan duluan.
“Hayuk, jalan, takut kemaleman.” kata Adul.
Kami pun berjalan beriringan menuju pos 4. Awalnya aku di belakang menemani Irma. Arum sudah jalan duluan bersama kloter 1 yakni para dengkul racing. Saat perjalanan turun menuju Ranupane sistem jalan kami sudah bebas, tidak harus berjalan bersama tim masing-masing.
Sampai di pos 3 kami mengenakan headlamp karena hari mulai gelap. Saat itulah aku mulai berjalan duluan dan meninggalkan Irma. Irma tetap di kawal oleh bang Angga dan juga Adul. Perut sudah tak enak, makanya aku ingin cepat sampai di Ranupane. Aku berjalan berdua bersama Kus. Kus di depan dan aku mengikuti speednya. Kus tahu bahwa perutku sudah bergejolak, sehingga dia mengajakku untuk berjalan dengan cepat. Setengah berlari aku mengikuti langkah Kuswandi. Sampai di pos 2 kami lihat teman yang kloter 2 sedang duduk istirahat. Kami segera bergabung dengan mereka. Saat mereka mulai berjalan, Aku dan Kus bergabung ke dalam rombongan tersebut. Ritme langkah kloter 2 ini terbilang cepat. Aku harus menahan rasa sakit di telapak kaki yang mulai muncul. Di pos 1 kami hanya istirahat sebentar lalu lanjut sampai di Ranupane. Karena aku cewek sendiri, aku diminta masuk ke barisan depan. Agar aman, kata mereka. Akhirnya kami tiba di Ranupane jam 20.00 WIB.
Alhamdulillah, kami kloter 2 tiba di Ranupane dengan selamat. Saat aku sampai di sana kulihat beberapa teman kloter 1 sedang jajan bakso dan yang lainnya sedang mencari merchandise
Aku segera memesan semangkok bakso untuk mengganjal perut yang kelaparan. Mantap sekali rasanya saat turun gunung lalu makan bakso. Setelah kloter 3 sampai dan Jeep kami telah stand by, kami segera naik jeep dan pulang ke BC Pakdhe. 

Sampai di Ranupane hari sudah gelap


Duduk di kursi samping driver bersama bang Amin membuatku susah tidur pada awalnya. Jalan yang bergelombang dan penuh tanjakan membuatku harus duduk manis menahan kantuk. Begitu sampai aspal yang mulus rasa kantukku tak dapat dibendung lagi. Aku terlelap dan bangun saat sudah sampai di rumah Pakdhe.
Jam 23.30 WIB kami semua tiba di rumah Pakdhe. Saking lelahnya, mayoritas dari kami langsung merebahkan diri di area yang masih kosong. Aku tidur sekitar jam 00.30 sehabis bersih diri. 


17 Agustus 2016

Bangun, sholat Subuh lalu meluruskan kaki dan mulai luluran “Counterpain”. Aku diajak Bang Arry pergi ke pasar untuk mencari jajan. Udara pagi di Tumpang memang masih segar. Di area pasar aku dan Bang Arry membeli jajan pada Tukang Sayur. Bang Arry antusias menggali info tentang nama makanan yang dijual. Aku hanya diam sambil tertawa melihat interaksi Bang Arry dan Bapak pedagangnya. Bang Arry sangat senang karena dengan belanjaan yang lumayan banyak, menurutnya uang yang dikeluarkan adalah sedikit.
“Beda lah bang,,,namanya juga di desa, lain lagi kalau di Jakarta” kataku. 
Kami kembali ke rumah Pakdhe dan menyajikan jajan pasar tersebut untuk teman-teman. Saat sarapan siap, kami bergegas antri untuk makan pagi. Sebagian ada yang sarapan, sebagian lagi ada yang mandi.
Sehabis sarapan, beres packing kami semua otw ke St.Malang Baru. Jam 13.00 WIB kami tiba di stasiun. Masih ada waktu sebelum check-in. Ada yang memanfaatkan freetime untuk berkeliling membeli oleh-oleh; ada yang jalan-jalan ke alun-alun; ada juga yang hanya mencari makan siang di area stasiun, dan sisanya menunggu tas kami semua. Aku dan Bang Irul pulang duluan ke Jogja. Saat itu aku dan bang Irul mendapatkan tiket promo sampai di Stasiun Solo Balapan. Kami berpamitan kepada semua rekan pendakian yang akan pulang menuju Jakarta. Suasana haru memenuhi ruang check-in saat Kus mengantar aku dan Bang Irul. Walaupun kami hanya berinteraksi selama 5 hari saja tapi kebersamaan ini sangat membekas di hati.




Besok pagi ketika kau bangun dan menemukan langit di depan jendelamu
Lupakan seluruh jadwal kerja yang menguras jiwamu
lalu jadilah bunga-bunga dan biarkan dia mewarnaimu
ajak dia menyusuri jalan menuju Mahameru di masa lalu
dan biarkan dia pergi saat kau sudah sampai......

-Merindu kisah klasik kita bersama di Atap Jawa-

Special thanks to :
  • Alloh SWT pemilik alam semesta
  • Orang tua, sanak saudara dan sahabat yang selalu mendoakan
  • Bang Ino, Adul, Bang Angga selaku panitia dari Kaina yang sangat bertanggungjawab terhadap pelaksanaan pendakian
  • Rekan pendakian dari tim1, tim 2 serta tim 4 atas kerjasamanya
  • Rekan pendakian tim 3 (Aldi, Adit, Rudi, Kus, Ekky, Bang Irul) atas tanggungjawab, kekompakan, toleransi, pengorbanan, serta canda-tawa selama pendakian.

Semoga perjalanan ini memberikan kita pelajaran bahwa tim yang solid dibangun atas dasar kepercayaan, kerjasama dan toleransi antar anggotanya. Terima kasih. Melalui pendakian ini aku secara pribadi bisa belajar banyak hal dari kalian semua. Belajar menghadapi masalah bersama-sama. Keputusan yang diambil haruslah dipertimbangkan secara matang agar tidak merugikan/membahayakan pihak manapun. Jangan lupa saling berkirim kabar agar persaudaraan tetap terjaga. Beda pendapat itu sudah biasa. Yang terpenting yaitu sikap toleransi antar sesama.    


Sumber bacaan: