Minggu, 29 Juli 2018

CATATAN PERJALANAN GUNUNG TAMBORA 3D2N





Gunung Tambora sudah masuk dalam waiting list-ku sejak akhir tahun 2017, tapi aku tak menyangka secepat ini akan mendapat ajakan mendaki ke sana. Berawal dari DM seorang kawan yang notabene sudah lama berkecimpung dalam kegiatan outdoor,

“Mbak, posisi di mana? Saya lagi di Sumbawa nih!”, akhirnya perjalanan kami yang luarbiasa dimulai.

Gunung Tambora merupakan salah satu gunung yang berada di perbatasan kabupaten Bima dan kabupaten Dompu di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Sebagai Geopark Nasional Indonesia, gunung Tambora tidak hanya menawarkan potensi keragaman hayati di dalamnya. Sejarah letusan dasyat gunung Tambora pada tahun 1815 memunculkan kaldera yang sangat luas, bahkan terluas di Asia. Akibat letusan dengan kekuatan 171 ribu kali bom atom Hiroshima ini, gunung Tambora juga kehilangan hampir separuh dari ketinggian awal yang mencapai 4200 mdpl.

Jalur pendakian Gunung Tambora yang populer antara lain:

1.       Pancasila (Dompu)

2.  Kawinda Toi, jalur baru dan diresmikan Desember 2017 (Bima)


Durasi pendakian jalur Kawinda Toi dinyatakan lebih singkat daripada jalur pancasila. Tetapi kami memilih mendaki Tambora via Pancasila. Mengapa? Karena kami mempertimbangkan jika tanpa guide lokal, maka pilihan yang tepat adalah lewat desa Pancasila. Yap, kami (yang pada kenyataannya hanya berdua saja dan belum pernah mendaki Tambora) akhirnya sepakat memilih desa Pancasila sebagai tempat meeting point.

Bisa dibilang pendakian Tambora ini merupakan perjalanan paling mendadak seumur hidup. Dalam waktu 2 hari sejak ada ajakan dari kawan, aku akhirnya memutuskan untuk berangkat ke Pulau Sumbawa. Beruntungnya aku, walaupun sempat kehabisan tiket kapal menuju Sumbawa akhirnya dengan bantuan kawan di Sumba, aku bisa menyeberang ke Sumbawa.
Tiket Kapal menuju Sumbawa

Hari Sabtu malam, kapal khusus penumpang yaitu Awu bertolak dari pelabuhan Waingapu, Sumba Timur, NTT menuju pulau Sumbawa, NTB. Perjalanan satu malam di laut pada musim mudik, membuatku tidak dapat tidur karena aku dan rombongan teman-temanku yang akan mudik ke Jawa tidak mendapat tempat duduk. Akhirnya aku tidur di geladak kapal, berselimutkan jaket dan beralaskan trash bag yang kubawa. Dinginnya angin malam dan suara langkah kaki orang-orang yang lalu-lalang tak kupedulikan. Kupaksakan mataku terpejam, agar esok hari badan lebih segar dan bisa melanjutkan perjalanan via darat dengan lancar.


Minggu pagi sekitar jam 08.00 WITA, kapal berlabuh di Pelabuhan Kota Bima. Salah seorang kawan, sebut saja Bang Ahsan yang akan mengantarku ke halte bis menuju Desa Pancasila. Pelabuhan Bima menuju kota Dompu ditempuh selama 2 jam dengan sepeda motor. Aku mampir ke kota Dompu karena menitipkan beberapa barang yang tidak perlu dibawa selama pendakian. FYI, dari pelabuhan kota Bima, kita bisa mencari bis jurusan Bima-Calabai mapun Bima-Kedindi untuk mencapai desa Pancasila.

Aku menunggu bis di cabang Bango, tidak jauh dari terminal Dompu. Sore hari menjelang jam 16.00 WITA akhirnya bis yang menuju Kedindi tiba. Jangan bayangkan bis di Sumbawa sama bagusnya dengan bis di Jawa. Saat aku masuk ke dalam bis, aku kaget karena celah antara kursi di sayap kanan dan kiri disambung dengan sebilah papan agar bisa diduduki penumpang. Awalnya aku susah menemukan posisi nyaman untuk berdiri. Bis penuh dengan barang muatan para penumpang. Akhirnya seorang pria mengalah dan memberikan tempat duduknya padaku. Jadilah aku duduk di kursi papan darurat.

Pemandangan menjelang malam sungguh indah, padang rumput terbentang di sebelah kanan-kiri ditemani segerombolan ternak (sapi) liar yang sengaja “diumbar” sang pemilik. Ombak pantai terlihat sangat indah dari jalan raya. Jalan aspal nan mulus dengan kelak-kelok menyusuri pinggir tebing merupakan sensasi khas alam sumbawa. Perjalanan selama 4 jam di dalam bis cukup menguras tenaga. Betapa tidak. Setiap ada penumpang yang turun dan lewat ke arahku, aku harus bergeser dan menunduk agar badanku tidak terkena kaki mereka.


Saat tiba di Pasar Senen, hari sudah malam. Jam “Guess” di tanganku menunjukkan pukul 20.00 WITA. Pasar Senen merupakan sebuah pasar yang ramai terjadi transaksi jual beli pada hari Senen, maka disebut Pasar Senen. Dari Pasar Senen kita bisa melanjutkan perjalanan menuju BC pak Saiful di desa Pancasila menggunakan ojek dengan harga normal 30 ribu. Posisi kawan (sebut saja Adul) saat itu berada di penginapan Zulfikar sekitar 1 km dari Pasar Senen. Dari penginapan Zulfikar kami naik ojek menuju BC pak Saiful dengan harga 50ribu per orang. Tarif ojek di sana cenderung naik ketika hari sudah malam. Jalan yang sepi dengan medan agak rusak dan penuh tanjakan membuat kang Ojek sangat berhati-hati mengendarai motornya yang kami naiki bertiga. Iya “Cenglu” kalau istilah Jawa, kang Ojek di depan bersama tas kerilku, Adul berada di tengah, dan aku paling belakang. Untung saja kerilnya Adul sudah diangkut ke BC sejak hari Sabtu. Sebenarnya, Adul sudah tiba di desa Pancasila sejak hari Sabtu. Dan kami sepakat mulai ngetrek Senin pagi.


Hal yang paling penting dalam pendakian salah satunya yaitu logistik. Aku sengaja membawa beberapa stok cemilan yang ada di kos agar lebih menghemat biaya seperti choki-choki, nata de coco, dan nutri jell. Sedangkan logistik lainnya kami beli bersama-sama di Pasar Senen. Saking lelahnya aku menempuh perjalanan yang sangat panjang, kami hanya membeli beras, telur, mie instant, buah dan bumbu penyedap. Bawang merah, bawangputih, cabe serta sayuran kami lupa beli. Siap-siap saja kami makan sederhana di gunung.

Penginapan di BC pak Saiful


BC pak Saiful terletak di desa Pancasila, kecamatan Pekat, kabupaten Dompu, NTB. Di basecamp ada beberapa kamar yang disediakan untuk pendaki beristirahat sebelum atau sesudah pendakian. Tarif tiap kamar yaitu Rp 100.000,- per malam dengan fasilitas kamar mandi luar (kamar mandi umum). Kamar cukup luas dan tersedia sebuah kasur busa yang cukup untuk 4 orang. Di BC pak Saiful terdapat listrik tapi tidak ada sinyal (berkebalikan dengan Mahambala yang tanpa listrik tapi ada sinyal, wkwk).


BC-POS 1

Senin jam 07.00 WITA kami sarapan mie rebus sekadar untuk mengganjal perut. Selesai packing dan mengurus simaksi kami berpamitan dengan Pak syaiful. Sembari menggambarkan peta secara kasar, beliau menyarankan kami agar naik ojek dari BC ke pintu rimba. Agar lebih menghemat waktu dan tenaga kami putuskan untuk naik ojek sampai di pintu rimba. Perjalanan dengan ojek pun tak semulus yang kukira. Tanah padat minim batu dengan banyak jejak ban motor serta truk membuat medan semakin licin karena di sekitar merupakan hutan rakyat yang cukup rapat. Beberapa kali aku harus turun karena motor tidak kuat menanjak di jalan yang licin. Sensasi seperti ini kudapatkan juga kalau berkendara menuju Mahambala. (Mahambala terus, sih?!)

Kami mulai ngetrek dari pos rimba jam 09.00 WITA. Melewati pintu rimba kami melewati jalan setapak yang lama kelamaan berubah menjadi jalur bekas ban motor. Mulai dari awal trekking aku diminta jalan didepan. Kalau aku jalan di belakang pasti aku akan ketinggalan sangat jauh dari Adul. Maklum saja, kawanku ini sudah sering jadi guide sekaligus porter dalam suatu pendakian. Sudah tak dapat dipungkiri bahwa dengkul kami beda kekuatan. (Hahaha, Piss ya DuL... )

Belum ada 1 jam menyusuri hutan, Adul mulai bimbang antara tetap lurus ikuti jalur motor atau belok kiri yang mana terdapat rafia yang diikat pada ranting sebatang pohon sebagai penunjuk jalan. Keberadaan peta yang kami pegang tidak membantu banyak. Peta yang kami dapat dari BC merupakan peta menuju puncak dari pos 5. Sedangkan dari pintu rimba sampai pos 5 kami tidak punya petunjuk. Akhirnya kami putuskan belok kiri dan ternyata kami sampai di jalan yang lebih lebar di mana kendaraan roda empat pun bisa lewat. Kami mulai ragu, tetapi kami tetap berjalan hingga menemukan sebuah Pura yang ternyata merupakan pusat kegiatan keagamaan umat Hindu di Pulau Sumbawa. Di dekat Pura kami menemukan rumah. Sayangnya kami tak menjumpai seorang warga di sana. Kemungkinan warga sedang pergi berladang. Tak berapa lama kemudian, kami bertemu seorang warga dan mendapat info bahwa arah pos 1 masih lurus terus menuju kampung Bali. Kampung Bali termasuk wilayah kabupaten Bima. Di kampung tersebut banyak perantau asal Bali yang menetap di sana, hingga warga Kampung bali mempunyai Pura khusus sebagai tempat mereka beribadah di wilayah tersebut.  Setelah mendapat petunjuk rute menuju pos 1 dari salah seorang warga kampung Bali, jam 10.30 WITA kami segera melanjutkan perjalanan.
Abaikan yang Kaos Merah



Di pinggir jalan kami menemukan bangkai ular piton berukuran sebesar paha orang dewasa. Tampak di tengah jalan tercecer bekas darah ular tersebut. Bau anyir seketika tercium oleh hidung kami. Ternyata ular tersebut sengaja dibunuh karena meresahkan warga sekitar. Sepengetahuan kami, gunung Tambora memang merupakan habitat ular piton. Entah kenapa ular piton bisa sampai di area pemukiman penduduk sekitar.


Kami melewati pos 3 buah dan meyakini bahwa kami harus terus berjalan lurus. Padahal di pos (yang terdiri dari  3 buah bale-bale) itulah seharusnya kami ambil kanan dan terus berjalan naik. Pada akhirnya kami tahu kalau kami nyasar kembali setelah bertanya pada 2 orang warga yang sedang beraktivitas di sekitar kebun kopi. Nyasar 2 kali untuk mencapai pos 1 membuat kami lelah dan cukup stres. Saat itu yang kami pikirkan adalah bagaimana caranya sampai di pos 1 dan bisa istirahat.
Nyasar di area kebun kopi warga

Dari pos 3 buah kami mulai melewati kebun kopi dan jalan mulai menanjak. Setelah melewati jalan “cor” dan terdapat pipa air, kami tiba di jalan setapak dominasi tanah yang sering dilalui sepeda motor. Ojek dari BC pun ada yang sanggup sampai pos 1 dengan biaya lebih mahal tentunya. Mindset di otak yang cenderung negatif karena sempat nyasar dan perut yang kelaparan membuat langkah kakiku gontai. Akhirnya aku minta “break”. Di pinggir jalan kami minum untuk sekadar membasahi tenggorokan. Beberapa motor tampak lalu-lalang membawa kayu hasil penebangan hutan rakyat. Secara spontan kami punya ide untuk ngojek-in keril kami sampai di pos 1. Dan kang Ojek yang bersedia itu adalah seorang anak yang masih seumuran dengan siswa SMP/SMA. Setelah 20 menit kami berjalan, sampailah kami di pos 1. Sayangnya, kang ojek kami tak terlihat batang hidungnya. Hanya 2 tas keril kami sudah nangkring di pos 1. Dia memang Malaikat bagi kami, bersedia menolong tanpa diberi upah.



POS 1 – POS 2

Kami istirahat di pos 1 selama 40 menit. Adul sibuk mengisi botol kosong kami dengan air dan aku hanya duduk diam mengatur nafas. Sesekali kami membahas kisah nyasar kami yang dramatis. Alhamdulillah, walau nyasar, akhirnya sampai juga di pos 1.

Perjalanan yang sebenarnya dimulai dari pos 1. Untuk menuju pos 2 kami melewati jalan setapak yang sempit dan dipenuhi semak belukar. Kadang dibutuhkan parang untuk menebas semak yang menghalangi jalur pendakian. Tak jauh dari pos 1 kami bertemu dengan rombongan pendaki dari Eropa yang tampak berjalan turun menuju pos 1. Mereka ditemani oleh guide lokal. Setelah bertegur-sapa dengan para guide, kami bergegas menuju pos 2.

Di pos 2 terdapat mata air berupa sungai yang sangat jernih. Di area ini ideal sebagai tempat memasak karena sumber air yang sangat dekat. Tinggal turun sekitar 20 meter ke arah jalur menuju pos 3 maka kita akan temukan sumber air di pos 2.


Sumber air di Pos 2

Terdapat 2 buah bale-bale yang dinaungi pohon yang sangat besar di area pos 2. Untuk kondisi tertentu, pos 2 dapat dijadikan sebagai campsite.

Pos 2



POS 2 – POS 3

Dari pos 2 perjalanan masih berupa jalan setapak penuh semak belukar. Kadang kita jumpai turunan, kadang juga tanjakan. Hutan menjadi lebih rapat dan jalan akan terasa sangat licin dan berat saat musim hujan. Saat musim hujan, hutan di Tambora akan memunculkan lebih banyak pacet. Pakailah gaither dan semprotkan area sepatumu dengan baigon semprot untuk meminimalisir serangan pacet. Tak jarang kami jumpai pohon-pohon tumbang yang menghiasi perjalanan kami. Ada saatnya merangkak lewat di bawah pohon yang tumbang, tapi seringkali kami lewat atas, meniti pohon tumbang tersebut.

Pos 3

Pos 3 merupakan area camp yang paling luas di antara pos yang lain. Kami tiba di pos 3 jam 17.30 WITA. Pelajaran paling berharga bagi kami, jangan lupakan hal-hal kecil yang dapat berakibat fatal saat berada di rimba raya. Kami lupa bertanya letak sumber air pada pak Syaiful maupun serombongan pendaki yang sempat kami temui di jalur. Setelah berusaha mencari sumber air, Adul akhirnya menemukan sumber air yang ternyata masih harus berjalan lurus, barulah turun sekitar 200 meter ke arah kanan. Kami baru menemukan sumber air jam 18.30 WITA. Artinya butuh waktu 1 jam bagi kami bisa menemukan sumber air setelah berputar-putar di sekitar pos 3. Banyak adegan konyol yang tercipta saat aku kelelahan mengikuti Adul mengambil air. Terpeleset, jatuh ke bibir jurang, tapi untungnya semua bisa aman terkendali.

Malam itu hanya ada tenda kami di pos 3. Adul menyalakan api unggun sebagai tindakan antisipasi atas liarnya rombongan babi hutan di sana. Tetap waspada, konon katanya banyak babi liar yang kadang mencari makan di area pos 3. Jangan sampai mereka mengobrak-abrik logistik ataupun tenda kita. Setelah makan malam aku tak banyak bicara. Badan rasanya sangat lelah dan ingin segera tidur. Akhirnya aku tidur duluan.



POS 3 – POS 4

Pagi hari, badan terasa lebih segar. Suasana pagi di pos 3 sangat riang. Suara burung berkicau terdengar tak ubahnya bagai nyanyian penyemangat bagi kami. Setelah makan, beres-beres dan packing keril, jam 09.30 kami melanjutkan perjalanan kembali.

Dari pos 3 menuju pos 4, siapkan sarung tangan dan buff karena kita akan menjumpai jelatang di kanan kiri trek yang mendominasi perjalanan. Jangan sampai terkena sentuhan lembut jelatang karena kulit kita akan menjadi perih dan panas. Trek mulai menanjak dan irama detak jantungku mulai tak beraturan. Jarak dari pos 3 ke pos 4 terbilang dekat jika dibandingkan dengan jarak pos 2 ke pos 3. Mendekati pos 4 kita akan menjumpai pohon-pohon cemara yang menjulang tinggi. Pos 4 merupakan area datar yang cocok untuk membuka bekal logistik. Tidak ada sumber air di pos 4. Kabut siang itu begitu mistik di pos 4. Kabut yang cukup magis tersebut sayang sekali jika dilewatkan tanpa berfoto. Beberapa kali kami mengambil foto dengan berbagai gaya. Hasilnya luar biasa.

Pos 4

Berusaha mencari sinyal


Setelah cukup istirahat dan berfoto, kami segera melanjutkan perjalanan menuju pos 5.



POS 4 – POS 5

Sejak awal perjalanan meuju pos 5 semakin banyak jelatang yang menyambut. Tetap gunakan kaos lengan panjang, celana panjang, masker/buff serta sarung tangan agar kulit kita tetap aman dari sengatan jelatang.

Jarak pos 4 ke pos 5 cukup dekat, hanya butuh 1 jam untuk sampai di pos 5. Pos 5 merupakan area yang cukup terbuka dan bisa dijadikan sebagai campsite. Banyak bekas api unggun yang terlihat di pos 5. Kalau kalian ingin mendaki Tambora dalam waktu 2 hari 1 malam, berarti pos 5 merupakan tempat yang pas untuk mendirikan tenda.



POS 5 – Bibir Kaldera

Dari pos 5 kita akan turun ke bawah ke arah kanan dan menjumpai aliran sungai yang kering saat musim kemarau. Sumber air terakhir di tambora adalah sebuah genangan air yang cukup banyak di sungai yang kering tersebut. Saat kami ke sana, sebenarnya air di kubangan itu tidak layak dikonsumsi karena bau dan warnyanya sudah berubah. Karena bekal air sudah habis, kami tetap mengambil air untuk selanjutnya dimasak sebelum dikonsumsi.
Sumber air saat musim kemarau di sekitar Pos 5
Hati-hati memilih batu untuk pijakan karena cukup licin


Meninggalkan sungai yang kering, kami berjalan naik menyusuri trek yang didominasi perdu, rerumputan dan pohon cemara. Sampai di pos Cemoro Tunggal kami mulai membaca peta dari pak Saiful. Pos cemoro tunggal merupakan salah satu titik di mana kita bisa memperoleh sinyal walaupun lemah. Di pos Cemoro Tunggal terdapat makam/monumen in memoriam seorang Guide Lokal pertama yang sangat terkenal yang meninggal di Gunung Tambora saat mengantar tamu naik Tambora.
Cemoro Tunggal 


Setelah melalui Cemoro Tunggal kami ambil arah tanjakan ke kanan, sesuai arahan peta dari pak Saiful. Mulai di titik ini, aku persilahkan Adul untuk jalan duluan. Adul pun mulai berjalan duluan untuk mencari lapak ngecamp. Trek yang dilewati semakin menanjak dan nafasku mulai tak stabil sejak meninggalkan genangan air. Jalan setapak mulai terbuka dan berubah menjadi medan berbatu yang didominasi pasir. Mirip dengan trek pasir letter “S” di Rinjani. Trek pasir inilah yang akan mengantarkan kami sampai di bibir Kaldera. Ada suatu titik yaitu medan berpasir sangat lembut, yang cukup menguras tenaga, padahal landai. Aku hanya bisa menyeret sepatuku karena sudah letih.
Trek pasir di area bibir kawah Tambora
Kabut Sore 


Aku sampai di bibir kaldera jam 16.00 WITA. Di bibir Kaldera, pasir mulai padat dan bercampur dengan batu. Kulihat Adul menyusulku untuk menunjukkan lapak yang telah dipilih. Kita harus cermat memilih tempat untuk ngecamp. Tanah di bibir kaldera yang tergolong rapuh menjadi alasan kami untuk tidak mendirikan tenda sembarangan. Angin di sekitar kaldera yang minim vegetasi membuat Adul harus memasang patok tambahan lebih banyak dari biasanya.
Porter, Guide, sekaligus Koki multitalenta


Kawah Tambora



Candid



Plang hasil karya Adul dengan memanfaatkan seng bekas dan arang

Kami bisa menikmati indahnya sunset di kaldera Tambora. Saat matahari terbenam, kami melihat warna jingga matahari membalut pemandangan Rinjani. Lukisan nyata Sang Pencipta memang sangat luarbiasa. Kaldera yang sangat luas terbentang di depan tenda. Gugusan bintang di langit malam tampak memukau mata, membuat siapapun yang berada di sana larut dalam obrolan malam yang penuh rahasia. Angin malam yang semakin dingin menyudahi dialog kami. Suasana yang sangat sunyi semakin terasa syahdu bersama alunan musik dari speaker yang Adul bawa,

“.........................................

Dia telah sangat menyumbar tanya

Termenung memendam perih usia

..............................................

Indah surganya takkan seindah di surgaNya

Tambora menjadi latar belajar manusia

Kenali bahasa alam Tambora

................................................”

OST Tambora, The Trail of Ancestor



Bibir Kaldera – PUNCAK

Diperlukan waktu summit attack sekitar 15 menit dari tenda kami di bibir kaldera. Puncak gunung Tambora sangat indah. Hamparan pulau Satonda, pulau Moyo serta gagahnya kaldera Tambora membuat kami tidak berhenti bersyukur karena telah sampai di tempat ini.


Puncak Tambora


Sisi lain puncak Tambora

Ketinggian gunung Tambora pasca letusan hebat tahun 1815 yaitu 2851 mdpl. Kaldera yang terbentuk mempunyai diameter antara 6 – 8 kilometer dengan kedalaman kaldera mencapai 1300 meter. Tak heran kaldera Tambora menjadi kaldera terluas di Asia.

Di puncak Tambora juga terdapat tugu in memoriam Wakil Menteri ESDM era pak SBY, yaitu Widjajono Partowidagdo yang meninggal saat berada di sekitar kaldera Tambora.


Setelah puas menikmati suasana puncak dan berfoto, kami segera turun ke area camp. Adul tidak ingin lama-lama di bibir kaldera dan ingin segera turun ke BC.

“Oke”, kataku agak curiga padanya.
Baru kali ini aku mendengar Adul ingin cepat-cepat turun dari gunung. Terdengar agak aneh. Segera ku buang pikiran penuh tanda tanya agar perjalanan turun kami bisa lancar.
Tenda tampak dekat


Tenda tampak jauh




Beban di pundak sudah lebih ringan dibanding kemarin karena Adul memindahkan beberapa barangku ke tas kerilnya.

“Gak papa mbak, biar kita jalannya lebih cepat.”
Pada kenyataannya kecepatanku turun gunung tetap kalah dengan Adul. Kakiku yang mulai terasa pegal menyebabkan  gerakan langkahku mulai melambat sejak tiba di pos 3.


Jalur pendakian Tambora yang didominasi hutan basah


“Dul, ntar makan siang di pos 2 yak”, kataku mewakili perut yang mulai frustasi.
“Siap, mbak”, jawabnya.
Sampai di pos 2 kami segera memasak mie instant yang tersisa. Nikmat sekali rasanya makan mie saat perut kosong karena pas sarapan aku hanya makan sedikit. (Salahe  sopo, Nduk? Wkwk)


Istirahat di Pos


Sampai di pos 1 kami istirahat sejenak. Adul terus memotivasi ku agar tetap semangat. Tapi, apa daya, dengkulku sudah berontak. Akhirnya dengan perjuangan sisa-sisa tenaga aku sampai di Kampung Bali jam 5 sore. Itu pun kerilku sudah dibawakan Adul selama 30 menit menjelang tempat tujuan.
Kata Adul, “ Gak tega liat wajah mbak Uut udah mengkerut begitu.”

Kecurigaanku terbukti setelah kami sampai di BC pak Syaiful menjelang maghrib. Akhirnya Adul bercerita bahwa sebenarnya dia susah tidur selama di campsite, terutama saat di bibir kaldera. Dia juga merasakan aura lain di beberapa pos di Tambora.
“Oh, begitu tah? Pantesan...”, kataku terkejut mendengar penuturannya.

Perjalanan sarat makna dari Tambora. Puji syukur kepada Alloh SWT Sang Pemberi Kehidupan, dengan KuasaNYA kami bisa selamat kembali kerumah masing-masing setelah mengalami hal yang di luar prediksi. Terima kasih semesta, engkau mengajari ku banyak hal. Bahwa kita hanyalah butiran debu di alam raya yang sangat luas. Boleh jadi kita sanggup melangkahkan kaki sampai di tanah tertinggi, lalu sanggupkah kita meletakkan hati di titik terendah? Semangat belajar, Nduk!




NOTED:

Durasi pendakian kami (2 orang, terhitung dengan waktu istirahat, masak, makan, dll) sebagai berikut:

Ojek BC – Pintu Rimba = 40menit (naik lewat jalur baru, Dompu)

Pintu Rimba – Pos 1 = 3,5 jam (nyasar)

Pos 1 – Pos 2 = 1 jam 45 menit

Pos 2 – Pos 3 = 2 jam

Pos 3 – Pos 4 = 1 jam

Pos 4 – Pos 5 = 1 jam

Pos 5  – Bibir kaldera = 2,5 jam

Bibir kaldera – puncak = 15 menit

Bibir kaldera – kampung bali = 8 jam (turun lewat jalur Portal, Bima)


Sebenarnya dari BC Pancasila ada 2 jalur menuju Pos 1 yaitu lewat jalur baru (wilayah Dompu) yang lebih jauh,seperti arahan pak saiful pada kami dan jalur portal/jalur lama (wilayah Bima) yang lebih dekat. Info tersebut kami ketahui setelah kami menyelesaikan pendakian.