Saya penasaran seperti apa
rasanya mendaki sebuah gunung sampai ke puncak. Adanya novel 5 cm yang kemudian
dirilis dalam film juga memotivasi saya yang tergolong awam seputar pendakian.
Saya cukup tahu diri sebagai pemula, tidak serta merta langsung meniru seperti
halnya yang terdapat di novel best seller karya Donny Dhirgantoro. Masak iya,
langsung menjajal Gunung Semeru padahal belum pernah merasakan sampai di puncak
gunung mana pun?Hehe.
Beruntung tanggal 8-9 November
2013 ada teman yang mengajak ke Merapi. Saya mempersiapkan semuanya selama 4
hari. Waktu yang sangat mepet sebenarnya. Tapi saya berkeyakinan kalau sudah
diniati dibarengi usaha, insha alloh ada jalan. Pinjam carrier 35L, matras,
headlamp, raincover punya tetangga sebelah rumah; pinjam jaket punya soulmate
trus yang lain (SB, logistik) ya modal sendiri. Ekspedisi Merapi ini saya
anggap sebagai diklat pertama saya dalam mendaki gunung. Saya belajar dari
pengalaman beberapa teman yang sudah pernah naik gunung.
Kami berangkat dari Jogja tanggal
8 November 2013 pukul 08.00 WIB dengan menggunakan motor. Tiba di basecamp
pendakian Merapi di New Selo pukul 10.30 WIB. Selepas istirahat, membeli makan
siang dan ibadah sholat Jumat/Dhuhur kami mulai pendakian jam 13.00 WIB. Siang
itu selama kami mendaki kami hanya berjumpa dengan 3 orang pendaki yang baru
turun dari pasar bubrah. Menurut mereka, saat mereka tiba di pasar bubrah,
kabut tebal menyelimuti puncak sehingga mereka memutuskan untuk segera turun.
Oleh mereka kami juga dianjurkan untuk lewat jalur alternatif yang lebih landai
walaupun agak licin.
Semenjak start pendakian, kami
langsung diajak melewati medan dengan gradien yang sungguh terlalu. Betapa tidak,
sejak titik awal gradien yang lebih dari 45 derajat itu seakan ingin mematahkan
semangat saya untuk terus berjalan. Beban isi carrier yang sudah berada di
pundak entah mengapa membuat saya berjalan paling lamban di antara rombongan
saya. Mungkin gradien yang keterlaluan dengan sedikit bonus itulah yang membuat
saya sering berteriak “break”, “capek”. Teman-teman yang lain selalu memberikan
semangat kepada saya, tetap menyuruh saya fokus, tidak melamun, padahal saya
jujur, malah ngantuk, saking capeknya.
Sampai di Pos I, kami
beristirahat dan memakai mantel. Hujan mengiringi langkah kami sampai di Pos II.
Medan yang kami lalui dari pos I menuju Pos II mayoritas adalah bebatuan.
Sejauh mata ini memandang saya hanya melihat batu, batu, dan batu. Selain kaki
jadi pijakan, tangan pun ikut bertumpu di bebatuan guna menjaga keseimbangan.Sering
nggrundheL sendiri, “kapan ni batu
habis?” hingga akhirnya sampai di tanah yang datar dan ternyata kami sudah
berada di pos II.
Basecamp sampai di pos II kami
tempuh selama 5 jam. Teman saya langsung mendirikan tenda. Kami makan, sholat
dan beristirahat. Baju dan kerudung saya basah termasuk jaket padahal mantel
sudah dipakai. Setelah ganti baju, kami semua ‘mapan’ tidur. Hujan disertai
badai kurasakan pertama kali di Merapi. Hawa dingin gunung serta rembesan air
yang masuk ke tenda membuat saya tidak bisa tidur. Rencana summit attack yang
semula dijadwalkan jam 23.00 WIB harus kami tunda mengingat kondisi yang tidak
memungkinkan. Akhirnya jam 02.00 WIB kami bersiap-siap untuk summit attack.
Saat kami bersiap-siap sambil membakar sampah, ternyata banyak rombongan
pendaki yang baru saja sampai di Pos II. Ada yang berasal dari Semarang, Yogya.
Saat kami berjalan menuju Pasar
Bubrah kami bertemu dengan seorang pendaki yang sedang beristirahat di balik
batu besar. “Hati-hati mbak, anginnya kenceng". “Iya mbak, makasih”, sahut
kami. “Semangat!” sambungnya. Memang benar, badan ini seakan-akan hendak
terbang tertiup angin. Tapi kami terus berjalan karena akan semakin dingin jika
hanya diam.
Di pasar Bubrah kami beristirahat
dan sholat shubuh. Jam 04.30 WIB kami mulai berjalan di atas pasir Merapi.
Angin menerbangkan pasir ke arah kami. Pedih rasanya mata saat itu karena saya
tidak memakai kacamata. Hari mulai terang, semburat oranye muncul dari arah
gunung lawu. Kami terus merayap di bebatuan labil. Perlahan tapi pasti,
akhirnya kami tiba di Puncak Garuda. Puncak yang sudah menganga lebar akibat
erupsi Merapi 3 tahun silam.
Rasanya luar biasa ketika sampai
di puncak, mengingat perjuangan hari kemarin berjalan selangkah demi selangkah,
dzikir yang tiada henti, semangat yang terus dipacu.
Setelah puas mengambil gambar di
puncak, kami segera turun. Turun dari puncak yang berpasir, saya memilih
“mLorot”. Rasanya seru sekali, terkenang masa kecil yang kurang bahagia,,
Perjalanan turun dari pos II
sampai basecamp kami tempuh selama 3 jam. Rupanya berjalanan turun tidak lebih
nikmat dari perjalanan ketika naik. Kaki sudah bekerja keras menuruni medan
bebatuan menyebabkan lutut mulai gemetar. Saya mencari kayu untuk saya jadikan
tongkat berjalan. Dua kali saya jatuh terpeleset di tanah liat.
Mendaki gunung bukanlah sebuah
kegagahan karena kita hanya berjalan dari start sampai finish (puncak) dan
kembali ke start awal melalui jalan yang ada di punggung gunung. Ya, kita hanya
berjalan melewati saja. Mendaki gunung mengajarkan saya banyak hal tentang diri
saya sendiri, keegoisan, kedewasaan, kerja sama, kebersamaan, kelemahan, serta
keyakinan dan yang lainnya.