Sabtu, 07 Desember 2013

Sedikit Berbagi Kasih dengan Siswa SD Wukaria



Di penghujung waktu kepulangan ke Jawa, kami melakukan perjalanan ke kampung Wukaria. Tak terasa 11 bulan kami lewati. Sebelum meninggalkan tanah Flores kami ingin memberikan sedikit kepedulian kami terhadap anak-anak SD Wukaria. Kami meminta bantuan dari teman-teman yang berada di Jawa, khususnya Yogyakarta untuk menyumbangkan seragam SD yang layak pakai. Dari kiriman yang tiba di Maurole terdapat kaos, baju dewasa serta baju anak-anak dan seragam SD baik seragam merah putih maupun pramuka. Setelah pakaian tersebut disortir, kami segera mengepaknya dalam kardus dan berangkat ke Wukaria.

SD Wukaria terletak di Kampung Wukaria, Desa Aelipo, Kecamatan Wewaria, Flores, NTT. Dalam perkembangannya, wilayah tersebut sekarang termasuk Kecamatan Maurole. Saya berangkat dari desa Maurole bersama 3 rekan yakni Guntur (penempatan Kampung Wukaria), Mala, dan mas Adnan. Kami naik dua sepeda motor sewaan. Sampai di Ratemapa kami menitipkan kedua motor tersebut di rumah salah satu warga. Perjalanan selanjutnya adalah berjalan kaki menuju kampung Wukaria yang terletak di atas bukit. Kami mendaki pelan-pelan karena jalan yang dilewati adalah longsoran jalan di punggung bukit. Longsoran tersubut terjadi karena hujan deras mengguyur wilayah tersebut. Ada ojek yang menawarkan jasa, tapi kami hanya menitipkan kardus berisi bantuan dan beberapa tas bawaan kami. Ojek yang tak lain adalah warga asli kampung Wukaria sudah terbiasa berkendara di medan gunung. Warga yang berasal dari kampung lain belum tentu berani melewati medan tersebut dengan sepeda motor.


Tempat penitipan motor di Ratemapa

Mulai jalan mendaki


Setelah melewati jalur longsor kami sampai pada jalan sempit bebatuan. Semakin ke atas jalan semakin bagus (sudah dicor) karena telah mendekati perkampungan penduduk. Keringat kami terus bercucuran saat menyusuri jalan menuju Wukaria. Cuaca yang panas membuat kepala terasa cepat pusing. Kami berhenti jika merasa capek dan melanjutkan perjalanan jika nafas sudah mulai teratur kembali. Saat tiba di kebun mete penduduk setempat, kami memetik jambu mete beberapa buah sebagai pelepas dahaga dan penunda lapar. Teman saya, Guntur mengatakan setelah tiba di Wukaria, dia akan menemui sang pemilik pohon mete, sehingga kami bisa dikatakan tidak mencuri. Jambu mete yang kami petik ada yang rasanya manis, tapi tidak sedikit yang rasanya asam. Jangan terlalu banyak makan jambu mete karena lama-lama akan terasa gatal di lidah.

Sengaja bawa ayam dari bawah buat menu makan siang


Capek,,, sok,atuh,,, istirahat dulu!


Tiba di rumah orang tua asuh dari Guntur (seorang Kepala Desa), kami segera masuk dan beristirahat di dalam rumah. Saat itu, sang pemilik rumah sedang ada acara di Ende, sehingga kami tidak bisa bertemu. Beberapa anjing tampak berkeliaran di dalam rumah. Beruntung mereka hanya mendekat saja. Anjing sudah biasa kami temui di rumah warga karena mereka biasa menjaga rumah majikan.

Guntur yang telah membeli ayam di Maurole segera menyembelih ayam tersebut. Katanya, “Kita makan enak hari ini!”. Di Kampung Wukaria sayur dan lauk sangat terbatas. Warga setempat berbelanja di Pasar Maurole yang berjarak sekitar 8 kilometer. Mereka sudah biasa berjalan kaki naik turun bukit untuk melakukan kegiatan jual-beli di Maurole.

Takut sekolah sudah bubar, kami bergegas menuju SD Wukaria. Kardus bantuan kami bawa ke SD Wokaria yang berjarak 300 meter dari rumah Guntur. Sampai di sekolah kegiatan pembelajaran hampir usai. Setelah menyampaikan maksud kedatangan pada guru, kami segera bertemu dengan anak-anak. Semua siswa dikumpulkan di ruang kelas III. Kami sempat berinteraksi dengan mereka walau hanya sebentar. Kami menyapa dan berkenalan dengan mereka. Satu sekolah terdiri dari 25 murid. Memang sedikit, tapi hal tersebut tidak menyurutkan langkah mereka untuk terus bersekolah.


Guntur, mas Adnan serta para siswa SD Wukaria


Para siswa antusias menanggapi pertanyaan



Para siswa sangat antusias melihat wajah-wajah baru di depan mereka. Kami bercanda sejenak agar suasana tidak tegang. Ternyata mereka jarang mandi terlihat dari penampilan mereka yang dekil dan tidak karuan. Baju yang mereka kenakan juga amat lusuh dan kotor. Ada yang memakai sandal jepit, ada yang tidak beralas kaki bahkan ada yang memakai sepatu yang sudah rusak. Mayoritas dari para siswa hanya mempunyai 1 stel seragam sekolah yang harus dipakai dari hari Senin-Sabtu. Sebagian malah tidak mempunyai seragam pramuka. Bisa dibayangkan bagaimana suasana kelas di mana para siswa memakai baju yang sama setiap harinya, tidak pernah ganti, dan jarang mandi. Ini memang salah satu realita di dunia pendidikan. Sedikit kepedulian dari sesama, tentu sangat berarti untuk mereka, meski hanya berupa baju layak pakai serta lukisan tangan “penyemangat” teman-teman dari Yogyakarta.


Pak guru dadakan sedang beraksi

"Terima kasih semuanya", ucap mereka tulus


Semoga bantuan berupa baju dan seragam layak pakai dapat berguna dan menambah semangat mereka untuk menuntut ilmu di sekolah, tak peduli dengan keterbatasan yang mengurung mereka.

Doa bersama sebelum pulang sekolah



Keterbatasan waktu membuat saya hanya bisa merangkum sedikit gambaran kehidupan di kampung Wukaria yang banyak memberikan pelajaran berharga. Kesederhanaan, keramahan, serta toleransi warga yang membuat siapa pun yang datang pasti akan merindukan tempat tersebut. Lewat foto-foto ini semoga kita semua dapat menyelami kehidupan di salah satu kampung kecil di Flores, NTT. Cekidot....


Nah,lho,,,masih kecil udah mainan parang aja,,,


Mainan anak laki-laki adalah menggelindingkan ban bekas

Mama Tua dengan pakaian adat lio yakni Lawo Lambu

Kemampuan memanjat pohon tidak diragukan lagi #memetik jambu mete

Rumah sederhana salah satu warga di Wukaria


Jumat, 06 Desember 2013

Kutemukan Wangka di antara kampung Bena, Soa, dan Riung

Acara liburan kenaikan  kelas selama 1 minggu saya manfaatkan untuk mengunjungi beberapa tempat wisata di Flores. Salah satu destinasi wisata yang saya pilih bersama tiga orang SM3T dari kecamatan Nangapenda yaitu Kampung Bena dan Pemandian air panas di Soa. Kedua tempat wisata itu terletak di kabupaten Ngada, sebelah timur dari Kabupaten Ende dan Kabupaten Nagekeo.
Kami telah sepakat untuk berangkat hari Kamis, 4 Juli 2013 menuju Kampung Bena terlebih dahulu. Kami menggunakan motor yang disewa dari Nangapenda. Dengan hati riang gembira kami mulai perjalanan menuju Kampung Bena yang terdapat sekumpulan rumah adat khas Ngada. Jalan Ende-Bajawa relatif mulus, hanya beberapa titik terdapat lubang dan di sejumlah ruas jalan sedang diperbaiki sehingga kami juga harus hati-hati dalam berkendara. Kami sempat kebingungan ketika sampai di dekat tugu “Selamat Datang di Kota Bajawa”. Kami sempat mengambil jalur ke arah Aimere, tapi kemudian segera putar arah karena menurut informasi kami kebablasan. Setelah bertanya pada warga, kami menemukan pertigaan yang harus kami lalui untuk menuju kampung Bena. Kami mulai menemukan jalan yang menurun disertai dengan tikungan menuju Kampung Bena yang terletak di bawah. Jalan sempit dengan kebun di sepanjang tepi jalan mayoritas yang sudah diaspal membuat perjalanan kami lebih cepat sampai di tujuan. Selang beberapa menit kemudian kami disuguhi pemandangan alam yang menawan hati. Di sebelah kanan tampak gunung Inerie, yang menjulang tinggi  melebihi awan putih di depannya. Kami sangat terpesona, ingin rasanya mengabadikan ciptaan Ilahi, tapi kami terus melanjutkan perjalanan karena takut akan kemalaman saat pulang.
Kampung Bena merupakan salah satu desa tradisional di Flores yang menyuguhkan budaya megalitikum yang mengagumkan. Perkampungan adat ini terkenal karena keberadaan  bangunan megalitik yang dimiliki yakni berupa susunan batuan kuno dan tata kehidupan masyarakatnya yang masih mempertahankan keaslian perkampungan tersebut.



salah satu spot foto di Kampung Bena, cewek semua :D



Kampung Bena di Ngada, Flores, NTT



Setelah puas mengelilingi Kampung Bena, kami bergegas melanjutkan perjalanan menuju Pemandian air panas di Soa. Untuk sampai di Soa kami melewati Kota Bajawa yang merupakan ibukota kabupaten Ngada yang terkenal dengan hawanya yang dingin dan sejuk. Dari kampung Bena menuju Soa kami membutuhkan waktu sekitar 1,5 jam karena medan yang dilalui penuh dengan tikungan.
Sekitar jam 15.00 WITA kami sampai di sana. Ternyata sore hari tempat tersebut lumayan ramai pengunjung. Bahkan ada SM3T  UNNES dari kabupaten Manggarai yang liburan di sana. Tempat wisata ini, sudah dilengkapi dengan fasilitas umum seperti kamar ganti pengunjung. Sumber air panasnya pun telah dibangun berbentuk kolam nyaman untuk berendam, dinaungi pohon-pohon rindang. Air dari kolam tersebut disalurkan menuju sungai di bawahnya, sehingga menimbulkan air terjun kecil berair hangat, campuran air sungai dengan air panas dari kolam. Kami menikmati ‘guyuran’ air terjun ini sembari duduk-duduk di bebatuan sungai. Sungguh seru sekali!



pemandian air panas Soa di Ngada, Flores, NTT



riangnya anak-anak saat bermain




hanya duduk-duduk santai di pinggir



Terdapat arena bermain anak-anak yang terdiri dari ayunan dan perosotan. Puas bermain di air panas kami segera bersiap untuk pulang. Tapi terlintas di pikiran bahwa jika sudah sampai di Soa, mengapa tidak sekalian pergi ke tempat wisata Riung. Kami mendengar cerita bahwa jarak antara Riung dengan Soa dekat sekitar 50 km. Akhirnya setelah diskusi yang lumayan panjang kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke Riung. Perjalanan ke Riung kali ini hanya berbekal niat serta tekad yang membara. Sembari mengisi bensin, kami bertanya rute yang harus ditempuh jika ingin ke Riung pada pemilik kios. Perjalanan tak terduga kami dimulai.
Hari mulai gelap, kami terus menyusuri jalan sempit dengan aspal yang sudah rusak. Di kanan kiri jalan hanya terlihat tumbuhan liar. Sesekali kami berpapasan dengan sepeda motor. Lega hati kami jika melihat perkampungan penduduk. Hari menjelang malam, matahari sudah kembali ke peraduan. Lampu motor dinyalakan, mental kami kuatkan, mulut senantiasa mengucap doa, berusaha menyelesaikan misi kami untuk sampai di Riung malam itu juga. Dua sepeda motor yang kami sewa tidak siap untuk menghadapi medan malam hari di pegunungan. Pukul 19.00 WITA kami berhenti sejenak untuk bertanya kepada warga yang ada di jalan apakah Riung masih jauh dari lokasi tersebut. Menurut mereka, Riung tidak jauh, kami diminta mengikuti jalan utama, sekitar 2 jam lagi kami sampai. Setelah mengucap terima kasih kami segera tancap gas meneruskan perjalanan. Kami mulai panik manakala jalanan terasa sunyi, gelap gulita dan tidak terlihat perkampungan penduduk. Kami berempat akhirnya memutuskan untuk beristirahat dan mencari tempat menginap di rumah warga sekitar. Saat sampai di suatu perkampungan yang belum terjamah listrik, kami berhenti dan bertanya pada pemuda yang tampak baru pulang dari kebun.
Mengetahui kami membutuhkan tempat yang bisa dipakai untuk beristirahat pemuda itu memberitahu rumah seorang tetua di kampung tersebut. Namanya pak Tomas. Pemuda itu menunjukkan arah menuju rumah pak Tomas. Saat kami mencoba mencari rumah pak Tomas kami sempat dikerumuni anak-anak. Mungkin karena kami terlihat seperti orang asing dengan sepeda motor yang tampak kebingungan. Setelah beberapa lama mondar-mandir, akhirnya kami berhasil menemukan rumah Pak Tomas. Rumah beliau terletak di bawah jalan utama, dan agak tersembunyi karena saat itu tiada penerangan sama sekali.
Menurut saya, rumah tersebut sangat mewah. Dinding rumah terbuat dari batu bata, dengan arsitektur yang menakjubkan untuk ukuran orang yang hidup di pedesaan. Setelah kami masuk dan bertemu dengan pak Tomas, kami memperkenalkan diri dan menyampaikan maksud kedatangan kepada pak Tomas. Beliau menerima kami dengan ramah. Begitu kami masuk kamar, beliau segera menyalakan genset. Akhirnya kami bisa mengobrol santai dengan tuan rumah. Sesekali kami mengecek hp yang kami taruh di jendela. Karena kata pak Tomas, sinyal lumayan kuat jika hp kami letakkan di jendela, di ruang televisi. Kami memberi kabar lewat sms keluarga di Ende karena rencana yang semula hanya sehari dan langsung pulang berubah menjadi 2 hari dan harus menginap.
Pak Tomas kaget ketika mengetahui bahwa kami SM3T dari Ende yang butuh tempat untuk menginap. Tak disangka pula ada salah satu peserta SM3T dari UNY yang ternyata ditempatkan di Wangka. Beliau bercerita banyak tentang kehidupan masa kecil sampai akhirnya sukses dan berhasil mendidik putra-putri beliau hingga selesai kuliah.
Beliau tinggal di rumah tersebut dengan istri dan seorang cucu. Anak-anak yang lain bekerja di luar kota dan sudah memiliki keluarga. Kedatangan kami yang tak terduga, tidak mengurangi cara beliau untuk memperlakukan tamu asing. Kami dipersilahkan menempati sebuah kamar yang luas dengan tempat tidur yang muat untuk kami berempat. Kami juga makan malam bersama pak Tomas. Sambil makan kami mengobrol lebih banyak. Dari cerita pak Tomas, beliau seorang yang mulanya bukan siapa-siapa akhirnya bisa sukses di masa depan. Beliau memang hanya tamat SD tapi semangat beliau untuk maju dan berkembanglah yang membuat beliau terus bekerja keras. Beliau mengembangkan usaha di bidang perkebunan, pertanian, dan peternakan. Masa kecil yang sering dihujat orang karena kondisi yang dulu miskin  membuat beliau bertekad untuk mengubah nasib beliau dan keluarga. Pak Tomas mengatakan bahwa masa muda beliau tidak pernah diisi hura-hura apalagi kegiatan bersenang-senang seperti yang kami lakukan saat itu. Yang beliau lakukan adalah bekerja bekerja dan terus bekerja keras mewujudkan mimpinya agar bisa sukses sehingga tiada lagi orang yang meremehkan dan mengejek dirinya.
Benar-benar menggambarkan pepatah “Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian”. Barulah pada masa tuanya beliau bisa menikmati hasil kerja kerasnya selama ini. Beliau merasakan yang namanya jalan-jalan ke luar kota maupun luar negri adalah saat anak-anaknya mulai kuliah.
Malam semakin larut, pak Tomas mempersilahkan kami untuk beristirahat. Jika kami sudah berada di kamar, beliau akan segera mematikan genset. Biasanya genset dihidupkan pada jam 19.00 s.d 22.00 WITA. Setelah mengucapkan selamat malam kami bergegas tidur.
Kami sangat bersyukur secara tidak sengaja berhenti di kampung ini dan akhirnya bermalam di desa Wangka Selatan kecamatan Riung-di rumah pak Tomas sekeluarga. Memang rahasia Alloh SWT sungguh indah. Tiada yang kebetulan, jika Tuhan menghendaki, maka niscaya akan terjadi. Betapa kami bisa belajar banyak dari beliau. Keramahan pak Tomas sekeluarga tidak akan kami lupakan. Kenangan itu akan melekat di hati dan  kami bawa pulang ke Jawa.
Pagi hari kami bersiap-siap melanjutkan perjalanan menuju Riung. Setelah pamit dan memberikan ucapan terima kasih kami bergerak menyusuri jalan pegunungan untuk tiba di pesisir pantai. Matahari mulai menyinari bumi. Kami bisa mengamati jalan yang kami lalui dengan jelas. Jarak antara kampung Wangka dengan kampung sebelah memang berjauhan. Jalan yang kami lalui kebanyakan berupa turunan karena pada malam harinya rute yang kami lalui kebanyakan berupa tanjakan.



dua motor paling kiri adalah motor sewaan dari Ende yang diparkir semalaman
dan berembun sangat banyak





Setelah 1 jam perjalanan kami sampai juga di ibukota kecamatan Riung. Kota kecamatan dengan tempat wisata Riung 17 Pulau jaraknya dekat. Tiba di Riung kami langsung memesan kapal kayu dan pelampung serta snorkel. Walau kami hanya berempat kami tetap dilayani dalam 1 kapal, tidak digabung dengan pengunjung lainnya.





Ruing terletak di pesisir utara pulau Flores. Oleh karena itu, keadaan lautnya lebih tenang dari pada pesisir selatan Pulau Flores. Kami mengunjungi tiga pulau yang terkenal di kawasan Ruing 17 Pulau yaitu Pulau Kelelawar, Pulau Rutong dan Pulau Tiga. Setelah puas berenang di tepian, melihat bunga karang dengan snorkel dan berfoto dengan bintang laut kami segera kembali ke daratan. 


salah satu view pantai di Riung



bintang laut ini kami kembalikan di tempat semula



salah satu pemandangan yang kami jumpai dalam perjalanan pulang ke Ende


Perjalanan pulang dari Riung melewati Mbay yg notabene akses jalannya lebih mudah,
aspal mulus serta pemandangan yg luar biasa

Kami transit di rumah kontrakan salah satu teman SM3T UNY di kecamatan Riung. Pukul 16.00 WITA kami pamit dan pulang menuju Ende. Rute yang kami tempuh menuju Ende berbeda dengan saat kami berangkat menuju Riung. Kami lewat Mbay, ibukota kabupaten Nagekeo. Jalan aspal lebih mulus dan waktu tempuh lebih singkat. Alhasil kami sampai di Nangapenda jam 19.00 WITA dengan selamat dan sehat. Badan yang letih dan pegal tak berarti ketika mengingat apa yang telah kami peroleh dalam perjalanan wisata di Bena, Soa, dan Riung. Touring bersama teman-teman wanita yang menyenangkan dengan banyak pengalaman baru di dalamnya.


Senin, 25 November 2013

Waka: AWESOME... :D

Perjalanan yang setengah hati saya ke Waka, salah satu kampung yang ada di Kecamatan Wewaria, Kabupaten Ende, NTT terjadi tanggal 9-10 Maret 2013.

Begini critanya....

Bel tanda pulang sekolah berbunyi, saya bergegas pulang ke kos karena perut sudah ribut minta diisi. Seperti biasa, saya dan teman kos memasak lebih dulu untuk makan siang. Selesai makan kami diajak seorang teman untuk ke Waka, salah satu kampung di Wewaria, Ende, NTT. Hari sabtu adalah hari yang sering saya tunggu dalam sepekan. Weekend kala itu saya tidak ada agenda main. Tubuh ini rasanya hanya ingin tidur di kamar. Sempat saya tolak tawaran tersebut, tapi karena dipaksa akhirnya kami berenam berangkat ke Waka.
Jam 14.30 kami berangkat dengan ojek karena otto(=sebutan untuk angkutan umum di daerah Flores) tidak lewat pada jam tersebut. Kami turun di Ropa dan naik kapal untuk sampai di Waka. Ternyata di Ropa kami sudah ditunggu oleh si empunya rumah yakni Kepsek SD setempat selaku bapak asuh teman kami yang mendapat tugas mengajar di Waka.
Kapal yang memuat 12 penumpang & 2 orang awak kapal bertolak menuju Waka. Setelah 30 menit kami sudah melihat daratan. Kapal tidak bisa menepi hingga bibir pantai karena air sedang surut. Alhasil kami dibantu sampan yang harus di dorong awak kapal sehingga sampai bibir pantai. Tetap saja saya basah karena ketinggian air laut mencapai lutut orang dewasa.


untung g ada yg mabuk laut,,,hihi



manja ya, pake sampan yang didorong itu...



wuidiihhhh,,,gaya..



turun dari kapal,,,pose dulu lah,,,



Untuk mencapai rumah teman kami yang terletak di dekat bibir pantai kami harus melewati kubangan babi. Mayoritas penduduk di kabupaten Ende memang memelihara babi. Sempat galau juga saat menginjak tanah yang sering digunakan untuk semua aktivitas si babi, hahaha. Akhirnya sampai juga di rumah Rara, teman kami. 


kampung waka sudah kelihatan



Kami disambut dengan hangat oleh Rara. Pak kepsek juga menemani kami mengobrol di balai-balai depan rumah. Pak kepsek ternyata pandai memasak, beliau dibantu Rara sudah menyiapkan menu special untuk kami. Malam itu kami makan dengan lahap dan penuh cerita.

Pagi hari kami memasak untuk sarapan. Pak kepsek mengolah cumi hasil tangkapan anak murid di laut untuk dibawa sebagai bekal karena kami hendak pesiar ke Karang. Menurut beliau karang adalah tempat yang pas untuk bermain air. 

Setelah berkemas, kami berjalan menuju kapal yang sudah siap mengantar kami pesiar. Masing-masing membawa bekal yang telah disiapkan sebelumnya. Air laut saat itu ketinggiannya mencapai perut saya. Saat berkonsentrasi menyebrang di air sambil membawa bakul berisi nasi, saya berteriak, “Ya Alloh,,, mas,,mas,,,” saya memanggil teman saya yang sudah berjalan mendahului saya. “Hape ku di saku celana, ini,,,ini,,, bawain dulu,,” ucapku panik sambil menyerahkan bakul nasi ke dia. Saya langsung merogoh saku celana, dan,,,, hape saya sudah basah.

Teman saya kaget dan segera mengambil hape saya tersebut. Dia berusaha melakukan pertolongan pertama pada hape dengan membuka casing hp dan mengambil sim-card. “Udah, tenang aja, tak simpan dulu ya. Ntar di jemur”. Saya hanya terdiam, berdoa agar hp tsb tidak rusak. Di dalam kapal, hp saya di lap dengan kain kering. Teman-teman yang lain hanya menatap saya dengan penuh iba. Saat itu saya diyakinkan oleh pak kepsek, bahwa hp saya pasti bisa dipakai lagi.

Sampai di Karang saya bisa melupakan sejenak hp yang terendam air laut selama 10 menit. Ombak  yang tenang, langit yang teduh dan laut yang biru membuat kami lupa segalanya. Teman-teman saya langsung menyeburkan diri ke laut. Saya hanya bermain air di tepi karang sambil melihat keceriaan mereka. Melihat hal itu saya tergoda juga untuk berendam di air laut. Setelah capek berenang-renang. Kami pun makan siang di atas kapal. Bekal makan kami sikat hingga habis. Awak kapal juga turut mencari ikan di sekitar karang dan langsung mengolahnya menjadi ikan bakar seketika. Nyam...nyam,,, nikmat sekali kebersamaan ini...



makan bekal di atas kapal




paling kanan adalah pak kepsek yang cerewet,,, *ups




Oleh-oleh sepulang dari Waka adalah kulit gosong dan wajah merah membara. HP senter saya pun riwayatnya telah berakhir saat itu (dalam perjalanannya, saya sudah berusaha mengobati tapi tetap tidak berhasil. Sekarang hp tsb saya museumkan di rumah hingga saat ini). Walaupun demikian, kami senang bisa mengunjungi daerah penempatan Rara yang menyimpan pesona dan keindahan.



korosi akibat kena air laut #jiaahhhhh




salah satu spot terbaik di Karang Kampung Waka



Special thx to: Alloh SWT yang selalu tahu yang terbaik untuk hambaNYA, yang sudah memberikan hikmah dalam perjalanan yang saya lalui...



kakak-adik (empu kapal) yang terbiasa terpapar matahari



empunya kapal lg istirahat





Sabtu, 16 November 2013

Ekspedisi Merapi 2930 mdpl



Saya penasaran seperti apa rasanya mendaki sebuah gunung sampai ke puncak. Adanya novel 5 cm yang kemudian dirilis dalam film juga memotivasi saya yang tergolong awam seputar pendakian. Saya cukup tahu diri sebagai pemula, tidak serta merta langsung meniru seperti halnya yang terdapat di novel best seller karya Donny Dhirgantoro. Masak iya, langsung menjajal Gunung Semeru padahal belum pernah merasakan sampai di puncak gunung mana pun?Hehe.
Beruntung tanggal 8-9 November 2013 ada teman yang mengajak ke Merapi. Saya mempersiapkan semuanya selama 4 hari. Waktu yang sangat mepet sebenarnya. Tapi saya berkeyakinan kalau sudah diniati dibarengi usaha, insha alloh ada jalan. Pinjam carrier 35L, matras, headlamp, raincover punya tetangga sebelah rumah; pinjam jaket punya soulmate trus yang lain (SB, logistik) ya modal sendiri. Ekspedisi Merapi ini saya anggap sebagai diklat pertama saya dalam mendaki gunung. Saya belajar dari pengalaman beberapa teman yang sudah pernah naik gunung.
Kami berangkat dari Jogja tanggal 8 November 2013 pukul 08.00 WIB dengan menggunakan motor. Tiba di basecamp pendakian Merapi di New Selo pukul 10.30 WIB. Selepas istirahat, membeli makan siang dan ibadah sholat Jumat/Dhuhur kami mulai pendakian jam 13.00 WIB. Siang itu selama kami mendaki kami hanya berjumpa dengan 3 orang pendaki yang baru turun dari pasar bubrah. Menurut mereka, saat mereka tiba di pasar bubrah, kabut tebal menyelimuti puncak sehingga mereka memutuskan untuk segera turun. Oleh mereka kami juga dianjurkan untuk lewat jalur alternatif yang lebih landai walaupun agak licin.
Semenjak start pendakian, kami langsung diajak melewati medan dengan gradien yang sungguh terlalu. Betapa tidak, sejak titik awal gradien yang lebih dari 45 derajat itu seakan ingin mematahkan semangat saya untuk terus berjalan. Beban isi carrier yang sudah berada di pundak entah mengapa membuat saya berjalan paling lamban di antara rombongan saya. Mungkin gradien yang keterlaluan dengan sedikit bonus itulah yang membuat saya sering berteriak “break”, “capek”. Teman-teman yang lain selalu memberikan semangat kepada saya, tetap menyuruh saya fokus, tidak melamun, padahal saya jujur, malah ngantuk, saking capeknya.
Sampai di Pos I, kami beristirahat dan memakai mantel. Hujan mengiringi langkah kami sampai di Pos II. Medan yang kami lalui dari pos I menuju Pos II mayoritas adalah bebatuan. Sejauh mata ini memandang saya hanya melihat batu, batu, dan batu. Selain kaki jadi pijakan, tangan pun ikut bertumpu di bebatuan guna menjaga keseimbangan.Sering nggrundheL sendiri, “kapan ni batu habis?” hingga akhirnya sampai di tanah yang datar dan ternyata kami sudah berada di pos II.
Basecamp sampai di pos II kami tempuh selama 5 jam. Teman saya langsung mendirikan tenda. Kami makan, sholat dan beristirahat. Baju dan kerudung saya basah termasuk jaket padahal mantel sudah dipakai. Setelah ganti baju, kami semua ‘mapan’ tidur. Hujan disertai badai kurasakan pertama kali di Merapi. Hawa dingin gunung serta rembesan air yang masuk ke tenda membuat saya tidak bisa tidur. Rencana summit attack yang semula dijadwalkan jam 23.00 WIB harus kami tunda mengingat kondisi yang tidak memungkinkan. Akhirnya jam 02.00 WIB kami bersiap-siap untuk summit attack. Saat kami bersiap-siap sambil membakar sampah, ternyata banyak rombongan pendaki yang baru saja sampai di Pos II. Ada yang berasal dari Semarang, Yogya.
Saat kami berjalan menuju Pasar Bubrah kami bertemu dengan seorang pendaki yang sedang beristirahat di balik batu besar. “Hati-hati mbak, anginnya kenceng". “Iya mbak, makasih”, sahut kami. “Semangat!” sambungnya. Memang benar, badan ini seakan-akan hendak terbang tertiup angin. Tapi kami terus berjalan karena akan semakin dingin jika hanya diam.
Di pasar Bubrah kami beristirahat dan sholat shubuh. Jam 04.30 WIB kami mulai berjalan di atas pasir Merapi. Angin menerbangkan pasir ke arah kami. Pedih rasanya mata saat itu karena saya tidak memakai kacamata. Hari mulai terang, semburat oranye muncul dari arah gunung lawu. Kami terus merayap di bebatuan labil. Perlahan tapi pasti, akhirnya kami tiba di Puncak Garuda. Puncak yang sudah menganga lebar akibat erupsi Merapi 3 tahun silam.
Rasanya luar biasa ketika sampai di puncak, mengingat perjuangan hari kemarin berjalan selangkah demi selangkah, dzikir yang tiada henti, semangat yang terus dipacu.



Setelah puas mengambil gambar di puncak, kami segera turun. Turun dari puncak yang berpasir, saya memilih “mLorot”. Rasanya seru sekali, terkenang masa kecil yang kurang bahagia,,





Perjalanan turun dari pos II sampai basecamp kami tempuh selama 3 jam. Rupanya berjalanan turun tidak lebih nikmat dari perjalanan ketika naik. Kaki sudah bekerja keras menuruni medan bebatuan menyebabkan lutut mulai gemetar. Saya mencari kayu untuk saya jadikan tongkat berjalan. Dua kali saya jatuh terpeleset di tanah liat.
Mendaki gunung bukanlah sebuah kegagahan karena kita hanya berjalan dari start sampai finish (puncak) dan kembali ke start awal melalui jalan yang ada di punggung gunung. Ya, kita hanya berjalan melewati saja. Mendaki gunung mengajarkan saya banyak hal tentang diri saya sendiri, keegoisan, kedewasaan, kerja sama, kebersamaan, kelemahan, serta keyakinan dan yang lainnya.