Sabtu, 07 Desember 2013

Sedikit Berbagi Kasih dengan Siswa SD Wukaria



Di penghujung waktu kepulangan ke Jawa, kami melakukan perjalanan ke kampung Wukaria. Tak terasa 11 bulan kami lewati. Sebelum meninggalkan tanah Flores kami ingin memberikan sedikit kepedulian kami terhadap anak-anak SD Wukaria. Kami meminta bantuan dari teman-teman yang berada di Jawa, khususnya Yogyakarta untuk menyumbangkan seragam SD yang layak pakai. Dari kiriman yang tiba di Maurole terdapat kaos, baju dewasa serta baju anak-anak dan seragam SD baik seragam merah putih maupun pramuka. Setelah pakaian tersebut disortir, kami segera mengepaknya dalam kardus dan berangkat ke Wukaria.

SD Wukaria terletak di Kampung Wukaria, Desa Aelipo, Kecamatan Wewaria, Flores, NTT. Dalam perkembangannya, wilayah tersebut sekarang termasuk Kecamatan Maurole. Saya berangkat dari desa Maurole bersama 3 rekan yakni Guntur (penempatan Kampung Wukaria), Mala, dan mas Adnan. Kami naik dua sepeda motor sewaan. Sampai di Ratemapa kami menitipkan kedua motor tersebut di rumah salah satu warga. Perjalanan selanjutnya adalah berjalan kaki menuju kampung Wukaria yang terletak di atas bukit. Kami mendaki pelan-pelan karena jalan yang dilewati adalah longsoran jalan di punggung bukit. Longsoran tersubut terjadi karena hujan deras mengguyur wilayah tersebut. Ada ojek yang menawarkan jasa, tapi kami hanya menitipkan kardus berisi bantuan dan beberapa tas bawaan kami. Ojek yang tak lain adalah warga asli kampung Wukaria sudah terbiasa berkendara di medan gunung. Warga yang berasal dari kampung lain belum tentu berani melewati medan tersebut dengan sepeda motor.


Tempat penitipan motor di Ratemapa

Mulai jalan mendaki


Setelah melewati jalur longsor kami sampai pada jalan sempit bebatuan. Semakin ke atas jalan semakin bagus (sudah dicor) karena telah mendekati perkampungan penduduk. Keringat kami terus bercucuran saat menyusuri jalan menuju Wukaria. Cuaca yang panas membuat kepala terasa cepat pusing. Kami berhenti jika merasa capek dan melanjutkan perjalanan jika nafas sudah mulai teratur kembali. Saat tiba di kebun mete penduduk setempat, kami memetik jambu mete beberapa buah sebagai pelepas dahaga dan penunda lapar. Teman saya, Guntur mengatakan setelah tiba di Wukaria, dia akan menemui sang pemilik pohon mete, sehingga kami bisa dikatakan tidak mencuri. Jambu mete yang kami petik ada yang rasanya manis, tapi tidak sedikit yang rasanya asam. Jangan terlalu banyak makan jambu mete karena lama-lama akan terasa gatal di lidah.

Sengaja bawa ayam dari bawah buat menu makan siang


Capek,,, sok,atuh,,, istirahat dulu!


Tiba di rumah orang tua asuh dari Guntur (seorang Kepala Desa), kami segera masuk dan beristirahat di dalam rumah. Saat itu, sang pemilik rumah sedang ada acara di Ende, sehingga kami tidak bisa bertemu. Beberapa anjing tampak berkeliaran di dalam rumah. Beruntung mereka hanya mendekat saja. Anjing sudah biasa kami temui di rumah warga karena mereka biasa menjaga rumah majikan.

Guntur yang telah membeli ayam di Maurole segera menyembelih ayam tersebut. Katanya, “Kita makan enak hari ini!”. Di Kampung Wukaria sayur dan lauk sangat terbatas. Warga setempat berbelanja di Pasar Maurole yang berjarak sekitar 8 kilometer. Mereka sudah biasa berjalan kaki naik turun bukit untuk melakukan kegiatan jual-beli di Maurole.

Takut sekolah sudah bubar, kami bergegas menuju SD Wukaria. Kardus bantuan kami bawa ke SD Wokaria yang berjarak 300 meter dari rumah Guntur. Sampai di sekolah kegiatan pembelajaran hampir usai. Setelah menyampaikan maksud kedatangan pada guru, kami segera bertemu dengan anak-anak. Semua siswa dikumpulkan di ruang kelas III. Kami sempat berinteraksi dengan mereka walau hanya sebentar. Kami menyapa dan berkenalan dengan mereka. Satu sekolah terdiri dari 25 murid. Memang sedikit, tapi hal tersebut tidak menyurutkan langkah mereka untuk terus bersekolah.


Guntur, mas Adnan serta para siswa SD Wukaria


Para siswa antusias menanggapi pertanyaan



Para siswa sangat antusias melihat wajah-wajah baru di depan mereka. Kami bercanda sejenak agar suasana tidak tegang. Ternyata mereka jarang mandi terlihat dari penampilan mereka yang dekil dan tidak karuan. Baju yang mereka kenakan juga amat lusuh dan kotor. Ada yang memakai sandal jepit, ada yang tidak beralas kaki bahkan ada yang memakai sepatu yang sudah rusak. Mayoritas dari para siswa hanya mempunyai 1 stel seragam sekolah yang harus dipakai dari hari Senin-Sabtu. Sebagian malah tidak mempunyai seragam pramuka. Bisa dibayangkan bagaimana suasana kelas di mana para siswa memakai baju yang sama setiap harinya, tidak pernah ganti, dan jarang mandi. Ini memang salah satu realita di dunia pendidikan. Sedikit kepedulian dari sesama, tentu sangat berarti untuk mereka, meski hanya berupa baju layak pakai serta lukisan tangan “penyemangat” teman-teman dari Yogyakarta.


Pak guru dadakan sedang beraksi

"Terima kasih semuanya", ucap mereka tulus


Semoga bantuan berupa baju dan seragam layak pakai dapat berguna dan menambah semangat mereka untuk menuntut ilmu di sekolah, tak peduli dengan keterbatasan yang mengurung mereka.

Doa bersama sebelum pulang sekolah



Keterbatasan waktu membuat saya hanya bisa merangkum sedikit gambaran kehidupan di kampung Wukaria yang banyak memberikan pelajaran berharga. Kesederhanaan, keramahan, serta toleransi warga yang membuat siapa pun yang datang pasti akan merindukan tempat tersebut. Lewat foto-foto ini semoga kita semua dapat menyelami kehidupan di salah satu kampung kecil di Flores, NTT. Cekidot....


Nah,lho,,,masih kecil udah mainan parang aja,,,


Mainan anak laki-laki adalah menggelindingkan ban bekas

Mama Tua dengan pakaian adat lio yakni Lawo Lambu

Kemampuan memanjat pohon tidak diragukan lagi #memetik jambu mete

Rumah sederhana salah satu warga di Wukaria


Tidak ada komentar: