Di penghujung waktu kepulangan ke Jawa, kami melakukan perjalanan ke kampung Wukaria. Tak terasa 11
bulan kami lewati. Sebelum meninggalkan tanah Flores kami ingin memberikan sedikit kepedulian kami terhadap anak-anak
SD Wukaria. Kami meminta bantuan dari teman-teman yang berada di Jawa, khususnya
Yogyakarta untuk menyumbangkan
seragam SD yang layak pakai. Dari kiriman yang tiba di Maurole terdapat kaos,
baju dewasa serta baju anak-anak dan seragam SD baik seragam merah putih maupun pramuka. Setelah pakaian
tersebut disortir, kami
segera mengepaknya dalam kardus dan berangkat ke
Wukaria.
SD Wukaria terletak di Kampung Wukaria, Desa
Aelipo, Kecamatan Wewaria, Flores, NTT. Dalam perkembangannya, wilayah tersebut
sekarang termasuk Kecamatan Maurole. Saya berangkat dari desa Maurole bersama 3
rekan yakni Guntur (penempatan Kampung Wukaria), Mala, dan mas Adnan. Kami naik dua sepeda motor sewaan. Sampai di Ratemapa
kami menitipkan kedua motor tersebut di rumah salah satu warga. Perjalanan
selanjutnya adalah berjalan kaki menuju kampung Wukaria yang terletak di atas
bukit. Kami mendaki pelan-pelan karena jalan yang dilewati adalah longsoran
jalan di punggung bukit. Longsoran tersubut terjadi karena hujan deras
mengguyur wilayah tersebut. Ada ojek yang menawarkan jasa, tapi kami hanya
menitipkan kardus berisi bantuan dan beberapa tas bawaan kami. Ojek yang tak
lain adalah warga asli kampung Wukaria sudah terbiasa berkendara di medan
gunung. Warga yang berasal dari kampung lain belum tentu berani melewati medan
tersebut dengan sepeda motor.
 |
Tempat penitipan motor di Ratemapa |
 |
Mulai jalan mendaki |
Setelah melewati jalur longsor kami sampai pada
jalan sempit bebatuan. Semakin ke atas jalan semakin bagus (sudah
dicor) karena telah mendekati perkampungan penduduk.
Keringat kami terus bercucuran saat menyusuri jalan menuju Wukaria. Cuaca yang
panas membuat kepala terasa cepat pusing. Kami berhenti jika merasa capek dan
melanjutkan perjalanan jika nafas sudah mulai teratur kembali. Saat tiba di
kebun mete penduduk setempat, kami memetik jambu
mete beberapa buah sebagai pelepas dahaga dan penunda lapar. Teman saya,
Guntur mengatakan setelah tiba di Wukaria, dia akan menemui sang pemilik pohon
mete, sehingga kami bisa dikatakan tidak mencuri. Jambu mete yang kami petik ada yang rasanya manis, tapi tidak sedikit yang
rasanya asam. Jangan terlalu banyak makan jambu mete karena lama-lama akan
terasa gatal di lidah.
 |
Sengaja bawa ayam dari bawah buat menu makan siang |
 |
Capek,,, sok,atuh,,, istirahat dulu! |
Tiba di rumah orang tua asuh dari Guntur (seorang Kepala Desa), kami segera masuk dan beristirahat di dalam rumah. Saat itu, sang pemilik rumah sedang ada acara
di Ende, sehingga kami tidak bisa bertemu. Beberapa anjing tampak berkeliaran di dalam rumah. Beruntung mereka
hanya mendekat saja. Anjing sudah biasa kami temui di rumah warga karena mereka biasa
menjaga rumah majikan.
Guntur yang telah membeli ayam di Maurole
segera menyembelih ayam tersebut. Katanya, “Kita makan enak hari ini!”. Di
Kampung Wukaria sayur dan lauk sangat terbatas. Warga setempat berbelanja di
Pasar Maurole yang berjarak sekitar 8 kilometer. Mereka sudah biasa berjalan
kaki naik turun bukit untuk melakukan kegiatan jual-beli di Maurole.
Takut sekolah sudah bubar, kami bergegas
menuju SD Wukaria. Kardus bantuan kami bawa ke SD Wokaria yang berjarak 300 meter dari rumah Guntur. Sampai di sekolah kegiatan pembelajaran hampir usai. Setelah menyampaikan maksud kedatangan
pada guru, kami segera bertemu dengan anak-anak. Semua siswa dikumpulkan di
ruang kelas III. Kami sempat berinteraksi dengan mereka walau
hanya sebentar. Kami
menyapa dan berkenalan dengan mereka. Satu sekolah terdiri dari 25 murid.
Memang sedikit, tapi hal tersebut tidak menyurutkan langkah mereka untuk terus
bersekolah.
 |
Guntur, mas Adnan serta para siswa SD Wukaria |
 |
Para siswa antusias menanggapi pertanyaan |
Para siswa sangat antusias melihat wajah-wajah
baru di depan mereka. Kami bercanda sejenak agar suasana tidak tegang. Ternyata mereka jarang mandi terlihat dari penampilan
mereka yang dekil dan tidak karuan. Baju
yang mereka kenakan juga amat lusuh dan kotor. Ada yang memakai sandal jepit,
ada yang tidak beralas kaki bahkan ada yang memakai sepatu yang sudah rusak. Mayoritas
dari para siswa hanya mempunyai 1 stel seragam sekolah yang harus dipakai dari hari Senin-Sabtu. Sebagian malah tidak mempunyai seragam
pramuka. Bisa dibayangkan bagaimana suasana kelas di mana para siswa memakai
baju yang sama setiap harinya, tidak pernah ganti, dan jarang mandi. Ini memang
salah satu realita di dunia pendidikan. Sedikit kepedulian dari sesama, tentu
sangat berarti untuk mereka, meski hanya berupa baju layak pakai serta lukisan
tangan “penyemangat” teman-teman dari Yogyakarta.
 |
Pak guru dadakan sedang beraksi |
 |
"Terima kasih semuanya", ucap mereka tulus |
Semoga bantuan berupa baju dan seragam layak pakai dapat berguna dan
menambah semangat mereka untuk menuntut ilmu di sekolah, tak peduli dengan
keterbatasan yang mengurung mereka.
 |
Doa bersama sebelum pulang sekolah |
Keterbatasan waktu membuat saya hanya bisa
merangkum sedikit gambaran kehidupan di kampung Wukaria yang banyak memberikan
pelajaran berharga. Kesederhanaan, keramahan, serta toleransi warga yang
membuat siapa pun yang datang pasti akan merindukan tempat tersebut. Lewat
foto-foto ini semoga kita semua dapat menyelami kehidupan di salah satu kampung
kecil di Flores, NTT. Cekidot....
 |
Nah,lho,,,masih kecil udah mainan parang aja,,, |
 |
Mainan anak laki-laki adalah menggelindingkan ban bekas |
 |
Mama Tua dengan pakaian adat lio yakni Lawo Lambu |
 |
Kemampuan memanjat pohon tidak diragukan lagi #memetik jambu mete |
 |
Rumah sederhana salah satu warga di Wukaria |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar